25

8.4K 421 11
                                    

"Seperti ombak yang tak pernah absen menerjang karang, selalu ada rintangan di setiap cerita yang nyaris sempurna"

***

"Itu kenapa ramai begitu Dok? oh iya, ada yang meninggal yah? tadi saya lihat petugas dari ruang jenazah ke arah sini." mata Irene tertuju ke arah salah satu ruangan di bangsal VIP yang ramai dikerumuni orang-orang.

"Kamu gak tau Ren? pasien lansia yang tempo hari kamu tangani itu loh, barusan meninggal." kata dokter Amelia yang sontak membuat langkah Irene terhenti.

"Yang mana? pasienku yang lansia ada banyak Dok, keluhannya macam-macam, terus setahuku yang masuk ruang VIP cuma ibu Sarah yang istri pejabat itu. Itupun kemarin dia sudah checkout. "Irene mencoba mengingat pasien lansia mana yang dimaksud dokter Amelia.

"Ituloh Ren, yang kamu oper ke bagian kanker, dua hari lalu kan beliau pindah ke ruang VIP untuk nunggu jadwal pengobatannya, terus barusan kena serangan jantung. Pasti Dokter Gunawan bakalan di evaluasi besar-besaran nih, pasiennya meninggal sehari setelah keluar dari ICU" tukas dokter Amelia.

Irene terdiam, ia terus berjalan melewati kamar pasiennya, matanya menatap kosong di sepanjang lorong yang tersisa. Kakinya berhenti tepat di sebuah ruangan dengan pintu terbuka lebar, paramedis dan juga dokter Gunawan berdiri dengan wajah putus asa disebelah pembaringan dingin, dan seorang pria yang sangat ia kenal menangis bersimpuh di sana.

Ini kali pertama Irene melihat sosok itu, ia seolah tak mengenal sosok pria yang menangis sesegukan di sebelah pembaringan ibunya yang sudah terbujur kaku. Lelaki bernama Juna yang dulu pernah ia cintai itu, kini menangis dengan sangat putus asa, membuat rasa perih menjalar di sekujur hatinya, tanpa sadar air matanya jatuh.

Irene mendekat usai paramedis keluar dari ruangan dan memberikan lelaki itu waktu untuk perpisahan terakhir dengan wanita yang sangat ia cintai meski ia tak pernah mengatakannya sekalipun. Irene berdiri disana, tak berkata sepatah katapun, ia hanya menatap punggung lelaki itu dengan tatapan iba, seolah semua perasaan sakit yang membanjiri pria itu turut ia rasakan.

Mata mereka bertemu saat Juna menyadari kehadirannya di ruangan tersebut. Pria itu hanya menatap Irene dengan tatapan menyayat yang bahkan tak ada kata yang dapat mendeskripsikannya. Irene sangat tahu tentang luka itu, luka ketika kehilangan seseorang yang berharga dalam hidup kita.

"Ren..." panggilnya lirih.

Mendengar suara lirih Juna, Irene tak mampu lagi menahan dirinya. Ia lantas menarik Juna dalam pelukannya, tangis pria itu semakin pecah dalam pelukan Irene. Pelukan yang selalu punya power luar biasa yang selama beberapa tahun ini ia rindukan.

"Ibu kamu sudah tenang mas, ikhlas yah.., aku tahu ini berat, tapi tolong kuatkan bahu kamu" Ia menepuk bahu pria itu, memberi ketenangan sebanyak yang ia bisa.

Sementara Juna menangis dalam pelukan wanita yang dulunya pernah ia sia-siakan, wanita namanya masih menjadi satu-satunya pemilik hati Juna. Namun, ditengah kerumunan ada seseorang yang berdiri menatap mereka berdua dengan perasaan tak percaya dirinya.

Kenyataan bahwa Irene belum juga memberikannya jawaban sampai hari ini membuat Akbar mulai risau, ia mencoba percaya bahwa apapun jawaban yang akan Irene berikan nanti adalah sebuah keputusan yang tepat untuk hidup wanita itu, Akbar hanya menginginkan kebahagian untuk Irene.

***

Di Sore hari yang sedikit berangin, Juna dengan wajah tegarnya berdiri di sebelah pusara mendiang ibunya. Wajahnya kusut, matanya sendu, kedua tangannya dipenuhi tanah yang melekat seusai mengantarkan ibunya pada pembaringan terakhir.

Irene berdiri tepat di sebelah Akbar, pria itu datang bukan karena ia punya hubungan dekat dengan Juna, melainkan karena ia ingin menamani Irene dan memastikan wanita itu baik-baik saja. Akbar tahu bahwa wanita itu ikut terpukul dengan kematian mendadak mantan ibu mertuanya, bagaimanapun mereka pernah menjadi sebuah keluarga dulunya.

"Saya turut berduka cita ya Pak Juna" Akbar mengulurkan tangannya

"Makasih yah Dokter" dijabatnya tangan itu, namun tatapannya bergantian menatap Akbar dan Irene, kenyataan bahwa mereka datang bersama sedikit mengganggu Juna, namun ia tak punya waktu untuk memikirkan hal itu karena dirinya tengah berduka.

"Yang kuat yah Mas" kali ini Irene, tak separah Juna, tetapi matanya tak bisa berbohong, kesedihan yang Juna rasakan pun tersampaikan pada wanita itu.

Tatapan mata saudara-saudara Juna terus memperhatikan Irene dan Juna bergantian. Tak berbeda dari mendiang ibu mereka, Irene masih menjadi satu-satunya wanita yang mereka harapkan untuk menemani sisa hidup Juna.

Mereka sangat tau bahwa bagaimana Juna melewati hari-hari penuh penyesalannya setelah berpisah dengan Irene, mereka berharap bahwa suatu hari Irene akan memberikan kesempatan kedua untuk adik mereka, meski sebenarnya kemungkinannya sangatlah kecil.

"Turut berduka yah mas, mbak" Irene juga menyamai saudara Juna yang lain untuk menyampaikan rasa belasungkawanya.

"Kamu mau langsung balik yah?" Lia, kakak kedua Juna. Wanita yang pertama mengulurkan tangan ketika kaki Irene sudah tak kuat lagi berdiri tegak.

"Maaf yah mbak, aku gak bisa lama-lama." kata Irene menatap lurus ke dalam mata wanita itu.

"Iya, lain kali kita ketemu yah, makasih sudah datang" Katanya lagi, lalu menarik Irene kedalam pelukannya. Irene membiarkannya tanpa berkata apapun, bagaimanapun dulu mereka pernah jadi satu keluarga yang sangat dekat.

Selepas dari pemakaman, Irene hanya diam. Akbar sama sekali tak berkata apapun, ia tak ingin mengganggu waktu tenang wanita itu. Akbar tahu bahwa Irene akan bicara dengan sendirinya jika dirasa perlu.

"Aku masih gak nyangka mas" celetuknya, menatap lurus kedepan.

"Ajal gak pernah ada yang tahu Ra" kata Akbar menimpali. Ia masih fokus menyetir sambil sesekali melirik ke arah Irene.

"Aku sudah memaafkan dia mas, tapi aku gak sempat bilang" kata Irene, ada sedikit penyesalan dari raut wajahnya.

"Kamu pasti sedih" tukas Akbar menarik kesimpulan.

"Sedih gak juga..gimana ya bilangnya? hmm, aku teringat ibuku. Aku bahkan gak berduka dengan selayaknya waktu ibuku pergi. Semacam penyesalan? gitu lah pokoknya." Ia terlihat menyeka bulir air mata yang hampir tumpah.

"Gak berduka selayaknya itu maksudnya gimana?"tanya Akbar santai

"Aku gak nangis waktu ibuku meninggal, Aku lagi ngurus pasien di IGD waktu ibuku meninggal. Anak durhaka yah aku?" wajahnya tertekuk, sementara itu Akbar terkekeh.

"Kok ketawa?" Irene terheran dengan reaksi Akbar.

"Berarti aku juga anak durhaka" katanya.

"Kok gitu?" dahinya berkerut.

"Iya, soalnya aku lagi diruang operasi pas ayahku meninggal, udah gitu aku gak nangis waktu nguburin ayahku." jelasnya santai.

"Perfect combo yah kita?" celetuk Irene tertawa geli, diikuti oleh Akbar.

"Iya yah, jodoh kayaknya" kata Akbar yang sontak membuat Irene melongo.

Akbar yang melihat ekspresi wajah Irene yang lucu, tak bisa berhenti tertawa. Ia senang ketika Irene bisa kembali menjadi dirinya yang ceria lagi, rasanya Irene terlalu berharga untuk disakiti.

"Tapi yah, sedih itu gak harus menangis. Kadang ada orang yang saking sedihnya, air matanya gak bisa keluar, tapi sakitnya disini" Akbar menunjuk dadanya.

"Aku tahu rasanya, kayak dicekik." sahut Irene memegang lehernya dengan kedua tangannya.

"Itu sebenarnya representasi kesedihan paling menyakitkan. Jadi terkadang ada orang-orang yang susah untuk menangis, tapi dampaknya gitu, sesak, seperti yang kamu bilang, kayak dicekik." lanjut Akbar lagi.

Irene mengangguk, terkadang ada beberapa hal yang membuat Akbar dan Irene sangat mirip, mereka seolah bisa berbagi perasaan yang sama. Irene tak terlalu tahu banyak tentang kehidupan Akbar, tapi ia tahu bahwa Akbar juga pernah terluka seperti dirinya, dikhianati seseorang yang sangat dipercaya. Irene bisa menangkap dari cerita-cerita Akbar, meski pria itu tak pernah bercerita secara detail, namun Irene seolah bisa merasakannya.

"Jadi gak perlu nyalahin diri sendiri, itu kan bukan kemauan kamu" diusapnya puncak kepala Irene dengan lembut, wanita itu tersenyum.

---------

to be continued ...

Stuck On You  (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang