"Jika dari jauh aku masih tak bisa menggapaimu, maka aku putuskan untuk mendekat"
JUNA_
***
Pria itu lagi, dia selalu ada disana setiap kali aku melihat Irene. Ia menempel pada Irene seperti perangko, padahal mereka ada di bangsal yang berbeda tapi ia selalu ada dimana kaki Irene berpijak. Entah di taman, di UGD, bahkan hingga ke cafetaria, dimanapun Irene berada ia selalu saja menempel. Aku tidak iri dengan hal itu, hanya satu hal yang membuatku sejenak ingin jadi dirina. Dimanapun, dan kapanpun itu, ia selalu jadi alasan Irene tersenyum seceria seperti yang kulihat sekarang.
Kupikir mendekati Irene setelah kami berpisah jadi lebih mudah karena ia adalah wanita yang akan bersikap dingin pada pria manapun, tapi namaknya aku salah karena ia sudah banyak berubah dari sejak terakhir aku mengenalnya. Ia jadi terlihat lebih hangat dibangdingkan sebelumnya, ia juga jadi sering tersenyum kecuali padaku, dan itu membuat keadaan semakin sulit. Terutama dengan kehadiran Pria lain disisinya, dan aku jadi semakin resah begitu mengetahui bahwa pria itu menaruh hati terhadap mantan istriku itu.
"Permisi.." Sapaku pada Irene yang kini posisinya tengah membelakangiku.
"Boleh saya bergabung?" ucapku meminta izin agar mereka bisa menerimaku disana, aku hanya merasa terganggu dan tidak nyaman melihat mereka duduk berdua dan tertawa mesra seperti tadi dan juga seperti saat di pesta tempo hari.
"Oh iya, silahkan!" ucap Dokter Akbar mempersilahkan, aku mungkin memang sempat meremehkannya, tapi setelah tahu bahwa ia adalah pria yang bik dan hangat, aku jadi semakin waspada karena dia bukan lawan yang mudah. Pria sepertinya pasti akan berambisi besar untuk mendapatkan apapun yang ia mau, tentunya dengan memanfaatkan sifatnya sebagai pria baik-baik.
Kulirik Irene yang hanya diam dan tak mengatakan apapun. Ia tampak seperti terintimidasi dengan kehadiranku yang mungkin tidak ia duga.
"Jadi rumornya bener yah ternyata" ucap Dokter Akbar mengangguk pelan sembari terus menikmati hidangan makan siang miliknya, dan sesekali ia melirik ke arahku.
"Rumor apa?" ucapku dan Irene secara bersamaan, kami sempat saling bertukar pandang sesaat hingga akhirnya Irene hanya memusatkan tatapannya pada Dokter Akbar. Aku tersenyum kecil karena rasanya lucu melihat gelagat kikuk Irene.
"Perusahaan Pak Juna kan jadi sponsor baru Rumah Sakit ini" Oh itu rupanya, kupikir aa rumor aneh yang tersebar tentangku.
"Apa? Sponsor? Sejak kapan?" Wajah Irene tampak terkejut, ia memandangku dan juga Dokter Akbar bergantian. Wajar saja ia kaget, ia mungkin tidak akan pernah menduga ini sebelumnya.
"Udah jalan 1 bulan, hari ini rapat kedua" jelasku pada Irene. Raut wajahnya menunjukkan ketidak sukaannya tentang ide itu atau mungkin dia tidak nyaman dengan keberadaanku, dan alasan sponsor itu kita bisa saja akan sering bertemu karena aku juga pasti akan jadi sering kemari
Perusahaanku saat ini memang sedang bekerja sama dengan perusahaan medis, dan tentu saja untuk alasan bisnis mereka ingin rumah sakit yang aku sponsori menggunakan alat-alat medis dari perusahaan mereka. Dan kupikir dengan hal itu, aku jadi punya alasan untuk sering bertemu dengan Irene, aku sudah tidak bisa lagi hanya memantaunya dari jauh. Aku perlu jarak aman untuk memastikan bahwa Irene mengakui keberadaanku. Aku tak mau kehadiran Dokter Akbar disisi Irene setiap harinya mengubur peluang yang aku punya untuk membina kembali segalanya dengan wanita itu.
"Perusahaan pak Juna ternyata lebih besar dari dugaan saya"Ucap Dokter Akbar, raut wajahnya menunjukkan bahwa ia seolah memberiku peringatan bahwa aku harus bersaing secara sehat dengannya.
Sebenarnya bisa dikatakan bahwa Irene alasan paling kuat mengapa aku memberi sponsor kepada rumah sakit ini disaat masih banyak rumah sakit lain yang memiliki potensi bisnin lebih besar. Begitu aku mengetahui bahwa Irene sedang menjadi dokter residen di rumah sakit ini, aku langsung saja memutuskan untuk memberi sponsor untuk rumah sakit tersebut. Itu terjadi karena aku ingin membangun jarak sedekat mungkin agar aku bisa terus punya alasan untuk bertemu atau minimal berpapasan dengannya meski hanya sekedar bertegur sapa singkat.
Sudah ku katakan berkali-kali bahwa nama Irene dalam jiwaku belum juga lekang sejalan denagn waktu. Diriku masih saja terjebak dalam masa lalu dan penyesalan mendalam terhadap wanita itu. Semakin aku berusaha mengubur namanya, semakin keras gejolak dalam diriku untuk memeluknya lagi.
Kupikir aku akan baik-baik saja bila aku melihatnya bersama pria lain, seberapa kali pun aku membayangkan situasi dimana Irene memperkenalkan seorang pria padaku sebagai kekasih atau suami barunya aku selalu saja berpikir bahwa aku dapat dengan mudah dan percaya diri mengatasi hal tersebut, namun pada kenyataannya mengetahui bahwa ada seorang pria yang menaruh minat pada mantan istriku itu sudah berhasil membuatku ketar-ketir.
Membuatku semakin tak ingin menyerah dan ingin terus menarik Irene lebih dekat dalam jangkauanku. Itulah mengapa pada akhirnya aku memutuskan untuk memberi sponsor pada rumah sakit swasta yang sebenarnya tidak ada apa-apa nya dibandingkan rumah sakit besar lain.
"Kita bakal sering ketemu nih kayaknya Ren" ku tatap wanita yang tengah serius melahap santapan makan siangnya itu. Aku yakin, pasti itu adalah makanan pertamanya hari ini, Irene adalah tipe wanita seperti itu. Meski ia seorang dokter, tapi ia lebih masa bodo dengan kesehatannya sendiri.
"Hmm.. mungkin. Mas tahu kan rumah sakit ini lumayan besar, aku sama dokter Akbar aja belum tentu sering ketemu kalau gak janjian"ucapnya datar, lantas meletakkan alat makannya dan meneguk air dari tumbler yang akan selalu ia bawa kemana-mana itu.
"Bener, kalau gak janjian atau gak lagi senggang sulit buat ketemu. Apalagi Ara jadwal di operation Room padat merayap." Ku tatap Dokter Akbar yang seolah-olah sudah hafal diluar kepala tentang semua jadwal Irene. lantas kulirik Irene yang tampak mengangguk kecil mengiyakan ucapan Akbar. Jujur saja Aku kesal, terutama melihat Irene tersenyum seramah itu pada pria lain. Tapi apa yang bisa aku lakukan, saat ini aku hanya perlu menahan semua perasaan campur aduk ini dan mengungkapkannya di saat waktunya tiba.
"Kamu hari ini gak lupa minum obat maag kamu kan Ren? gak jatuh lagi kan kayak tempo hari?" Aku sedikit khawatir kalau saja Irene lupa minum obat maag nya.
"Dia udah semingguan gak minum obat maag lagi, keren kan?" Ucap Dokter Akbar bersamaan dengan anggukan kecil Irene yang mengalihkan tatapan Kikuknya dengan cepat ke sembarang Arah.
"Itu kan karena mas Akbar sering ngajak sarapan bareng, makanya jadwal makanku selalu teratur." Irene tersenyum lagi, dan panggilan mas itu benar-benar membuatku semakin panas. Lagipula kenapa juga Irene memanggl Dokter Akbar dengan panggilan seakrab itu di lingkungan kerja, apa dia tidak khawatir jika ada orang yang mendengar lantas salah paham dengan hubungan mereka?
"Dokter Akbar kayaknya cocok jadi juru bicara presiden deh" ketusku pada pria yang terus saja bertukar pandang dengan Irene. Sikapnya hari ini tidak mengandung sopan santun, ia bersikap seolah di meja bundar ini hanya ada dirinya dan Irene. Alisnya lantas berkedut usai mendengar ucapanku.
"Kok bisa mas Juna mikir gitu?" Irene menatapku dengan wajahnya yang serius. Kenapa juga wajahnya harus memasang ekspresi antusias begitu disaat aku membicarakan Dokter Akbar.
"Ia soalnya dari tadi aku bicara sama kamu tapi dia terus yang jawab, udah kayak juru bicara kamu aja." keluhku. Irene terkekeh, lalu melirik Akbar dan mereka saling melempar senyum lagi. Apa menurut mereka kehadiranku hanya untuk melihat pemandangan semacam itu.
"Maaf Pak Juna, sudah jadi kebiasaan. Soalnya Ara kalau habis kelar operasi gak punya tenaga buat ngobrol. Makanya kadang kalau ada pertanyaan, saya yang jawab kalau memungkinkan" jelasnya. Apa dia melakukan itu demi cari muka di depan Irene, wanita itu bahkan tak protes sama sekali.
"Makasih loh mas Akbar atas perhatiannya"
Kuperhatikan Irene lekat, tawa itu dulunya milikku. Sekarang rasanya sulit untuk melihat tawa lepasnya selain jika ia sedang bersama Akbar. Sebenarnya sudah berapa banyak hal yang terlewat olehku selama kami berpisah. Rasanya aku belum sanggup untuk melepas genggamanku dari wanita ini, aku masih ingin memperjuangkannya sekali lagi dengan benar.
***
Hallo... udah lama yah tidak berjumpa. Sampai jumpa lagi dan terimakasih karena terus mendukung cerita ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stuck On You (END)
General FictionBerawal dari sebuah perjodohan yang tak pernah diinginkan, Irene Divyascara, dokter muda yang baru saja menyandang gelar Sarjana kedokteran itu dipaksa menikahi pria kaya yang usianya terpaut jauh dengannya, yang pada akhirnya hubungan mereka kandas...