11

12.1K 689 25
                                    

IRENE

"Telima kasih Doktel" ucap Reva, bocah 5 tahun yang sudah dirawat di rumah sakit selama hampir satu bulan. Kuusap punggungnya, kami sudah dekat sejak aku pertama kali merawatnya menggantikan Dokter Akbar.

Dia anak yang baik dan juga kuat, setiap malam aku akan menyelinap ke kamarnya usai melakukan pekerjaanku. Dan anehnya dia selalu masih terjaga tiap kali aku ke kamarnya, kala itu lah aku akan membantunya tertidur dengan membaca cerita.

Seolah seperti kebiasaan, aku akan ke ruangan inapnya dengan membawakan satu cerita. Aku senang karena ia suka dengan cerita yang sering kali aku bawakan. Aku cukup aneh awalnya karena Reva bilang bahwa mama nya tak pernah membacakan cerita agar ia tertidur, mama nya hanya menyuruhnya tidur, lalu Reva akan berpura-pura dan bangun lagi begitu mama nya keluar dari kamar.

Entah apa itu sikap alami Jia, tapi menurutku dia terlalu tidak peka untuk ukuran ibu yang memiliki anak berusia 5 tahun. Umur dimana anak seumuran Reva butuh diperhatikan dan haus akan perhatian. Namun sekali lagi Jia sama sekali tak menunjukkan itu pada Reva, mungkin karena Jia termasuk wanita karir yang begitu ambisius pada mimpi-mimpinya, tapi tetap saja menurutku ia terlalu acuh pada Reva.

"Minum obat yang Rajin yah, terus jangan lari-lari dulu." Ucapku padanya, ia masih enggan untuk melepaskan diri dari pelukanku. Aku hanya tersenyum, sejujurnya aku sedikit iri dengan Jia karena dia punya putra menggemaskan Reva, andai saja aku tak kehilangan janinku saat itu mungkin saja anakku sekarang sudah duduk di bangku Sekolah Dasar.

"Ayo Reva...Dokternya mau periksa orang sakit lagi" itu suara Jia, mengingatkan bahwa Reva sudah saatnya untuk pergi. Kulirik Jia dan mas Juna bergantian, dan bisa kulihat tatapan mas Juna sedikit menggambarkan sesuatu yang berbeda, tapi entah apa itu.

"Mamanya nungguin tuh" Ucapku melepaskan diri dari pelukan erat Reva, lantas tatapan mataku teralih pada Jia yang menatapku lamat.

Aku pun segera berdiri begitu Reva beralih pada mamanya lalu disambut pelukan erat oleh Jia yang ditepis pelan oleh Reva. Alih-alih membalas pelukan mamanya, bocah itu malah berjalan dan menggandeng tangan nany nya. Jujur saja jika aku ada di posisi Jia, sepertinya ditolak anak sendiri merupakan hal paling menyakitkan. Namun itu pantas untuk seorang Working Mom seperti Jia yang hanya peduli pada karir masa depannya tanpa merelakan sedikit waktunya untuk menghabiskan sedikit waktu bersama putranya.

"Reva nya sering-sering diperhatikan yah mbak, dari yang saya lihat sepertinya mbak kurang memperhatikan Reva" ucapku. Mungkin aku terlihat ikut campur, tapi aku hanya menyampaikan hal yang mengganjal di hatiku.

Meski kelahiran Reva membuat karir Jia sempat turun, namun Reva bukan lah pihak yang patut untuk disalahkan. Ia hanya anak yang terlahir tanpa tahu apa-apa. Ayah dan ibunya lah yang patut disalahkan, atas kebodohan yang orang tuanya lakukan saat Reva masih didalam kandungan mamanya berdampak pada kehidupan Reva setelah dilahirkan. Rasanya aku jadi marah tiap kali ingat cerita dibalik kelahiran Reva yang aku dengar sendiri dari mamanya. Dia bukan anakku, tapi rasanya aku marah saja.

Tak berkata apapun, Jia hanya mengangguk. Dia mematut ekspresi wajah datar yang sulit dibaca seperti biasanya. Aku juga tak peduli bagaimana tanggapannya tentang ucapanku, lagipula itu sekedar nasihat yang menurutku akan baik juga untuk kesehatan Reva, setidaknya itu pesan terakhir yang bisa aku berikan sebagai Dokter yang pernah merawatnya.

Kusadari sepasang mata terus saja menatapku, seolah ada banyak hal yang hendak ia ungkapkan, namun sayangnya aku memilih untuk berpura-pura dan mengabaikannya.

Reva pun akhirnya keluar dari ruangan yang sudah hampir satu bulan ia tempati itu, menggandeng tangan nany disusul serta oleh mama nya yang sebelumnya pamit pada kami.

Stuck On You  (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang