IRENE
"Aku cemburu" ungkapnya tanpa keraguan sedikitpun, aku tetap mencoba tak terusik dan fokus pada makan siang seolah-olah aku tak peduli dengan hal itu.
"Rasanya aku ingin seperti Dokter Akbar, bisa dekat sama kamu, makan bareng kamu ___"
"Kenapa? Mas kan udah pernah ngerasain semuanya, kenapa harus cemburu?" kilah ku memotong ucapannya tanpa menoleh sedikitpun ke arahnya.
Aku tidak mengerti dengan sikap mas Juna, kami baru saja bertemu beberapa hari lalu. Jangankan berbicara, menatapnya saja terlalu berat dan sulit untukku. Namun semakin hari sikapnya semakin membuatku bingung, ia tak seharusnya berkata demikian disaat masih ada Jia disisinya karena sama halnya ia mencoba memberi harapan kosong padaku.
"Karena...."kalimatnya menggantung.
"Mungkin aku kangen. Kita pernah lebih dari sedekat itu dulu, mungkin perasaan cemburu ku berasal dari rasa kangenku ke kamu"akunya, ucapannya masih saja selembut itu. Membuat sudut hatiku terenyuh, aku tentu saja tak boleh goyah. Selama 5 tahun aku berjuang untuk menghapus lelaki itu dari hatiku, sudah seharusnya aku tak goyah hanya karena pengakuannya yang bukan apa-apa itu.
"Mas..." Kuletakkan alat makanku di atas nampan makan yang hampir bersih karena aku yang sudah lebih dulu kehilangan selera makan. Rasanya aku ingin cepat pergi dari hadapan lelaki itu
"Hmm.." Sahutnya, lantas memfokuskan pandangannya padaku. Menjadikan kami saling bertukar pandang.
"Rasanya mulai aneh kalau mas mengungkit masa lalu. Mungkin wajar sesekali rindu, tapi aku harap kedepannya mas gak usah mengungkit hal yang sudah berlalu. Jalan kita sudah beda, jadi ayo fokus di jalan masing-masing." Kutegaskan padanya sekali lagi bahwa aku tak akan pernah goyah. Jika aku goyah, semua hal yang dulu pernah terjadi bisa saja terulang lagi.
Bagaimanapun Jia tak akan pernah lepas dari hidup mas Juna. Meski kami kembali bersama sekalipun, mas Juna masih akan tetap terikat dengan Jia. Aku tahu karena itu terlihat dari bagaimana lelaki itu tetap peduli pada Reva meski bocah 5 tahun itu bukan putranya. Semua itu membuktikan bahwa sampai kapanpun Jia akan selalu jadi bayang-bayang dalam hidupnya.
"Ren, tapi..."
"Udah yah Mas, aku masih banyak kerjaan" kataku cepat, tak ingin ucapannya mempengaruhi pendirianku.
**
Selepas makan siang aku melakukan pemeriksaan pada beberapa pasienku setelah itu aku kembali ke ruanganku. Kuputar playlist musikku yang kemudian mengalun lagu berjudul Perfect milik Ed Sheeran.
Kulangkahkan kakiku menuju sisi jendela. Menatap lurus keluar jendela, merenungi segala hal yang sudah terjadi dalam 5 tahun belakangan ini.
Lantas pandanganku terkunci pada satu objek yang tengah duduk diam di kursi taman, mas Juna. Kupandangi dirinya yang tampak termenung seorang diri, raut wajahnya menandakan seakan-akan ada banyak hal yang mengganggu pikirannya. Entah apa yang sedang lelaki itu pikirkan.
Kegerakkan jemariku menyentuh kaca jendela, melukis potretnya dalam diam. Meski aku terus bersikap denial padanya, namun hati kecilku terus saja ingin tahu apa yang lelaki itu lalui, atau apa yang ia alami dalam 5 tahun tanpa aku disisinya. Apa selama kurun waktu yang terasa singkat itu ia pernah memikirkanku? Paling tidak sehari saja, aku penasaran. Karena terkadang meski aku berusaha untuk tak memikirkannya, selalu ada satu momen dimana aku akan teringat lelaki itu.
Siapapun bisa tertipu dengan raut wajahku yang penuh kepura-puraan, namun hatiku tak bisa berbohong bahwa mas Juna masih punya tempat spesial di sana. Ia masih jadi satu-satunya pemilik singgasana, belum kutemukan seseorang yang bisa menggantikan dirinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Stuck On You (END)
General FictionBerawal dari sebuah perjodohan yang tak pernah diinginkan, Irene Divyascara, dokter muda yang baru saja menyandang gelar Sarjana kedokteran itu dipaksa menikahi pria kaya yang usianya terpaut jauh dengannya, yang pada akhirnya hubungan mereka kandas...