sembilan belas : so, it was you?

45.5K 4.6K 102
                                    

19. so, it was you?

[]

Kata orang, memasak itu adalah salah satu bagian dari basic skill yang harus dimiliki setiap orang, entah itu laki-laki atau perempuan. Ghea percaya dengan gagasan itu, hanya saja, dia memang nggak menguasai basic skill tersebut sehingga dia berpikir kalau dia nggak punya bakat buat di dapur, lagipula untuk apa Ghea belajar memasak, jika dia sudah punya mami dan asisten rumah tangga yang tak akan membuat Ghea mati kelaparan hanya karena nggak bisa masak.

Itu adalah pemikiran Ghea dulu, sebelum dia menikah dengan Raka dan pisah rumah dengan orang tuanya. Dia paham kenapa masak disebut sebagai basic skill yang harus dimiliki setiap orang, sebab nggak selamanya dia akan mengandalkan orang lain entah itu dimasakkan atau membeli dari luar. Memang ada Raka yang bisa memasak, dan pria itu selalu mengolah sendiri makanan yang mereka makan, kalau sempat.

Namun lama-lama, Ghea merasa tak enak hati melihat Raka yang setiap sebelum berangkat kerja dan pulang kerja selalu memasak untuk mereka berdua padahal dia seharian sudah lelah bekerja, sampai rumah bukannya bisa beristirahat masih harus disibukkan dengan kegiatan dapur. Memang sudah terbiasa sejak dulu, tapi dulu dia tinggal sendiri, sekarang ada Ghea, dan bukannya meringankan Ghea malah menambah kerjaan.

Oleh sebab itulah Ghea berinisiatif untuk belajar memasak, dan terhitung sudah empat hari ini Ghea ikut kelas memasak, yang sebetulnya Ghea malu sebab merasa kalau di antara orang-orang yang ikut kelas memasak ini, cuma dia yang paling payah. Ghea cuma ngerti caranya masak air dan rebus mi, selain itu mungkin dia bisa tapi rasanya bisa dipakai meracuni tikus got.

Dan kebetulan hari ini kelasnya selesai lumayan sore, keluar dari studio, Ghea mendapati langit yang telah berubah mendung, sepertinya sebentar lagi Jakarta akan menangis.

"Raka udah pulang belum ya?" gumam Ghea, mengambil ponselnya yang berada di dalam tas, barusaja dia menyalakan benda itu, suara khas baterai habis malah menyambutnya, membuat Ghea mendesah kesal.

"Anjrit, kenapa harus sekarang sih?!" gerutu Ghea, kemudian segera mengubrak-abrik isi tasnya, berharap menemukan charger di dalam sana, dan untung saja dia sempat membawa benda itu.

Mengedarkan pandang pada sekitar, tatapan Ghea terkunci pada kafe yang jaraknya mungkin sekitar sepuluh meter dari sini. Ghea mengayun kakinya, dengan niat akan menumpang untuk mengisi daya ponselnya di kafe itu, tapi baru beberapa langkah, Ghea mendengar namanya diteriakkan oleh seseorang.

"Ghe!"

Ghea refleks menoleh ke sumber suara, mendapati seorang cowok yang mengendarai motor nmax mendekat ke arahnya.

"Lah, elo ternyata?" ucap Ghea ketika mendapati siapa yang telah memanggil namanya.

Dia adalah Damares, cowok alumni dari departemen Mesin, teman dari mantannya Ghea yang merupakan adik sepupu Dika.

"Widih, lama nggak liat, makin bikin pangling aja lo," goda Damares ketika dia menghentikan motornya tepat di samping Ghea.

"Halah, kardus banget mulutnya."

Damares tertawa. "Darimana, btw? Sendirian aja tumben, biasanya sama geng lo itu. Lulus kuliah ikutan bubar?"

"Nggak lah! Emang mau ke mana-mana berempat mulu apa? Kita juga punya kesibukan masing-masing keles!"

Cowok dengan postur tubuh yang katanya Ghea hampir mirip binaragawan itu kembali mengudarakan tawa. "Terus lo sendirian aja ini? Nggak takut diculik orang?"

Ghea tersenyum mengejek. "Gue lebih takut tiba-tiba ketemu lo begini sih."

"Buset dah, emang sepreman itu apa muka gue?"

It Called LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang