enam : basic manner

46.4K 5K 145
                                    

6. basic manner

[]

"Gheaaa." Panggilan menggelegar itu membuat Ghea refleks mengerutkan dahi. Merasa terganggu karena maminya memanggil dengan nggak santai.

"Apa, Mii??" Ghea balas berseru untuk menyahuti panggilan maminya.

"Ke sinii, belakangg."

Mengembuskan napas malas, Ghea kemudian beranjak dari duduknya dengan malas-malasan, menghampiri maminya yang sepertinya sedang berada di dapur.

"Apa, Mi?" tanya Ghea begitu tiba di ambang dapur, membuat atensi maminya beralih.

Ajeng kontan tersenyum, lalu menyuruh Ghea untuk segera mendekat. "Sini dulu!"

"Kenapa sih?" tanya Ghea heran sendiri dengan kelakuan maminya.

Dan keheranan Ghea bertambah ketika tiba-tiba maminya menyodorkan sebuah kantung kertas yang entah di dalamnya berisi apa.

"Nih, anterin ke Raka," ucap Ajeng, seketika Ghea pun melotot kaget.

"Hah? Nggak mau lah!" Ghea langsung menolak mentah-mentah.

"Nggak mau gimana?!" Ajeng menautkan alisnya, berancang-ancang mau mengomel, omelan template para ibu-ibu; punya anak gadis kok susah banget kalau dimintain tolong buat bantuin mamanya!

"Ya nggak mau nganterin ke Raka!" Ghea memperjelas ucapannya. "Lagian ya, Mi, sekarang tuh udah ada jasa buat antar makanan, kenapa nggak nyuruh mereka aja? Ghea males keluar, katanya Mami anak cewek nggak boleh keluyuran malem-malem."

"Ini bukan keluyuran, tapi Mami minta tolong! Kamu ini nih kalau dimintain tolong sama Mami susahnya minta ampun! Nanti giliran minta sesuatu ngerengek kayak anak kecil!"

"Miii." Ghea merajuk dengan ekspresi cemberut.

"Ma Mi Ma Mi, gih sana anterin ini. Disuruh anter doang loh?"

"Gengsi lah, Mi, masa cewek nyamper cowok sih?" keluh Ghea.

"Apa Mami undang Raka makan malem di sini aja kalau gitu?"

Ghea buru-buru menyanggah. "Jangan lah, Mi!"

"Jangan gimana? Orang Mami ngundang calon mantu sendiri kok jangan? Dia itu calon suami kamu, nggak boleh kayak gitu!"

"Masih calon, Mi! Lagian siapa juga yang mau nikah sama Raka," ujar Ghea yang pada akhir kalimat suaranya mengecil.

"Bilang apa kamu?!"

Ghea menggeleng-geleng. "Nggak ada! Nggak bilang apa-apa! Ghea nggak mau anterin itu!"

"Mami bilangin Papi kalau—"

Sebelum ucapan maminya berlanjut, Ghea segera memotong dengan berseru, "Aahh, iya-iya! Ghea anter!"

"Gitu dong daritadi!" Ajeng tersenyum senang.

Ghea mendengus kesal. Maminya selalu tahu ultimatum apa yang menjadi kelemahan Ghea. Apalagi kalau bukan uang bulanannya dipotong? Ah, bisa merana Ghea. Jadi mau nggak mau, Ghea menuruti permintaan maminya untuk mengantar isi di dalam kantung kertas itu pada Raka.

Tapi memangnya Raka sudah pulang? Bukannya budak korporat macam Raka itu sering qerja lembur bagai quda? Ah, itu dia, bisa jadi alasan Ghea untuk batal mengantar suruhan maminya.

Ghea kemudian berbalik, kembali ke dapur dan berseru, "Miii."

"Apalagi??" sahut Ajeng.

"Raka belum pulang, Mi. Dia masih di kantor, Ghea nggak mau nganter ke kantornya," ujar Ghea, membuat alasan dengan luwes, seolah sudah pandai dengan hal-hal berbau dusta semacam itu.

It Called LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang