10 + 1 = 11

1.4K 132 3
                                    

“Lo sebenernya niat ngga sih diajarin gue?”

“Niat banget kok. Cuma mata pelajarannya gue ga niat sama sekali. Bikin butek mata.”

Mark menghela nafas beratnya. Lantas menyadari Beomgyu yang ogah-ogahan begitu, membuat Mark dengan mudah mendongak seraya memejamkan mata. Tangannya dengan impulsif bergerak kearah tengkuknya sendiri lalu memijatnya dengan kasar. Menggambarkan betapa frustasinya Mark dengan Beomgyu yang kini malah menampilkan wajah innocent.

“Pantes aja lo ga paham di kelas. Ini bukan soal gurunya yang jago ngajar apa ngga, tapi lebih ke —minat dimuridnya ada apa ngga.” tutur Mark. Lelah.

Beberapa saat lalu, saat Mark tengah sibuk membuat lirik lagu dengan sedikit petikan gitar, Beomgyu tiba-tiba saja mendatanginya di ruang tengah. Di tangannya tertenteng 2 buku tebal juga 2 buku tulis ditambah satu batang bolpoin yang menggelinding diatas tumpukan buku yang Beomgyu bawa. Dan Beomgyu berkata pada Mark ingin diajari, dengan segera saja Mark menyanggupi. Membantu adiknya sendiri juga lagian, mana mungkin Mark tolak.

“Ya itu! Gue ngga minat.. Tapi kok yha gurunya kekeh banget ngajarin gue.” dengus Beomgyu. Membanting bolpoinnya ke sembarang arah, lalu sedetik kemudian ia sendiri langsung panik menghampiri tempat dimana bolpoinnya berada.

Maklum, bolpoin mahal, jadi Beomgyu panik jika betulan hilang.

“Kan guru lo lagi usaha biar lo minat lagi, Gyu..”

“Sama aja ah. Gue ga minat sama Matematika. Rumusnya bikin keder.”

“Meski ga minat, Matematika itu buat dasar lo. Di kehidupan lo sendiri, kemungkinan kecil banget buat lo ga ketemu sama Matematika. Jadi, sebenci apapun lo sama Matematika, lo jangan sampe no banget sama itu mata pelajaran.” ujar Mark. Beomgyu langsung murung. “Ilmu Matematika yang lo pelajari sekarang ngga akan sia-sia di masa depan nanti kok. Percaya sama gue. Sekarang, ayo belajar lagi.”

“Beres Mat, beliin cilok depan komplek ya?”

Mark terkekeh gemas. Tangannya mengulur untuk sekadar mengusak surai milik Beomgyu. Kepalanya mengangguk singkat.

“Iya. Ntar gue traktir. Jangan males lagi sama Matematika.”

...

Sungchan disore hari kala itu, tengah sibuk mondar-mandir di ruang tengah. Anak bungsu itu resah lantaran kehilangan salah satu buku catatan. Entah dimana ia lupa menyimpannya. Tadi Sungchan juga sempat menanyakan di groupchat kelasnya, dan sebagian dari mereka menyatakan jika mereka tak melihat apalagi meminjam buku catatan milik Sungchan.

Sungchan makin panik saat sadar 2 hari lagi ada ujian harian. Dan ia bingung harus menghapal materi acak lagi. Sebenarnya tanpa Sungchan menghapal ulang pun tak masalah, ingatannya kuat, kok. Tapi tetap, Sungchan panik saat menjelang ujian, persiapan rutinnya tak dijalankan. Vibes ujiannya tak terasa jika ia tak menghapal barang satu materi pun. Dan Sungchan akan terus dilanda panik selama itu sampai buku catatannya ditemukan.

“Chan!”

Sungchan menoleh ke sumber suara. Menemukan Mark yang datang dari arah pintu utama seraya menenteng satu kantung plastik di tangannya. Kakak sulungnya itu berseru dengan wajahnya yang terlihat cerah. Binar wajah Mark memang jarang sekali terlihat suram.

“Oh.. Habis darimana, Kak?” tanya Sungchan.

“Beli cilok, buat Beomgyu. Lo mau? Gue beli lebih nih.” Mark kemudian menyodorkan plastik itu kearah Sungchan. Langsung Sungchan balas dengan gelengan pelan juga dorongan tangannya sarat penolakan halus.

NANO JUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang