31 + 1 = 32

390 45 2
                                    

“Sungchan dimana?”

Mark menoleh saat rungunya menangkap sinyal suara dari belakang tubuhnya. Ia diam sejenak, mengingat eksistensi si bungsu yang ia sendiri kurang tau persis dimana lokasinya.

“Tadi terakhir liat ada di ruang cuci, Bu. Nyuci bareng Beomgyu.” jawab Mark, mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali. Ia nampak menerawang kemudian. “Tapi Gyu baru aja keluar 10 menit lalu, nyariin kancut Jeno yang terbang keluar rumah.”

Belah bibir Taeyong terkatup, lalu melipat ke dalam. Memikirkan dimana biasanya anak bungsunya itu nangkring jika sedang tidak mengintili dirinya di dapur atau saat tengah mengerjakan pekerjaan rumah lainnya.

Tidak biasanya Sungchan menghilang.

Sungchan merupakan salah satu anaknya yang paling sering terlihat di peredaran indra penglihatannya.

Alasannya tak lain tak bukan karena Sungchan yang memang senang mengintili Taeyong.

“Tadi Bubu lewat sana lho ya ngga ada siapa-siapa.. Kira-kira adekmu itu kemana ya?” Taeyong terikut bergabung dengan Mark di ruang keluarga. Ia mendudukkan pantatnya di sisian sulung Jung, memperhatikan kegiatan anak laki-laki pertamanya itu dengan lamat. Meski ia tak begitu paham. Ingin terlihat pintar saja. “Bahan presentasi?”

“Sebentar lagi, Sungchan juga muncul, Bu. Mungkin lagi bantuin Gyu juga tadi keluar, cuma Mark ga liat kapan Sungchan lewat.” lugas Mark, menoleh pada Taeyong, lalu memberikan kurva senyum, berniat menenangkan kegusaran hati Bubunya itu. “Kalo dalem kurun waktu satu jam Sungchan belom keliatan, biar Mark yang cari.” Mark sebenarnya ingin sekali mencari Sungchan detik ini juga agar Taeyong tak begitu terlihat cemas. Tapi tugas mata kuliahnya begitu sulit ia tinggalkan. 

“Itu loh tugas kelompok, Mark. Kenapa yang kerja kamu doang disini?”

Mark terkesiap saat laptop miliknya sudah berpindah alih menghadap Taeyong. Bubunya itu sigap merevisi beberapa keterangan di dalam ppt yang ia buat. “Nah.” puasnya, tersenyum bangga saat tugas anak sulungnya, kini sudah terevisi sesuai dengan keinginannya. “Kayak gini kan enak di pandangnya..”

“Loh, Bu?” kening mulus Mark mengerut samar. Matanya beberapa kali mengerjap bingung, dan beralih dari layar laptop lalu pada Taeyong, begitu bertahan selama beberapa kali. Masih mencerna situasi. Bingung karena Taeyong yang dengan ringan menghapus daftar nama teman kelompoknya, tersisa hanya nama Mark yang terlampir jelas di sana. Sekali lagi, Mark menatap Taeyong, meminta penjelasan atas sikap Taeyong yang begitu impulsif.

“Bubu tau kamu setiap malem nyisihin waktu tidur kamu cuma buat ngerjain ini sendirian. Bubu pikir, mungkin aja kamu kerjain tugas ini bareng temenmu selagi kalian masih di kampus. Tapi feeling Bubu ngga bilang demikian. Kamu selalu tepat waktu selesai kelas langsung ke rumah belakangan ini. Beres kuliah, kamu cuma keluar buat makan, sisanya ngurung diri di kamar buat ngerjain tugas. Dan pemikiran positif Bubu bilang, kamu ngadain virtual meeting, tapi yang Bubu dapet, kamu cuma frustasi sendirian. Bubu ngga suka. Bubu ngga tega kamu di giniin.” raut wajah Taeyong menatap sedih ke arah anak sulungnya itu. Lengannya terangkat, lalu mampir ke surai kemudian turun ke arah rahang tegas milik Mark. Ia elus lembut guna menyalurkan rasa sayangnya yang begitu besar pada setiap anggota keluarganya. “Jangan sungkan buat bersikap tegas sama hal yang sebenernya ngga kamu setujuin dan udah pasti ngga kasih keuntungan buat kamu. Ini bener-bener ngerugiin kamu, Mark. Dari segi tenaga, waktu, juga pikiran, kamu di rugiin.”

Tatapan Taeyong begitu dalam, meski mengukir seutas senyuman, itu tak nampak seperti senyuman tulus. Itu sarat akan kegetiran. Mark jadi ikut terhanyut dengan hati yang begitu pilu saat mendapati tatapan Bubunya itu.

NANO JUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang