20 + 1 = 21

1K 101 8
                                    

Senin. Selasa. Rabu. Kamis. Jum'at. Sabtu. Minggu.

Itu jajaran nama hari. Bagaimana dengan jajaran nama mantan Jeno?

“Abang lo Jeno, ya?”

Setiap orang yang bertanya pertanyaan serupa pada Beomgyu, akan Beomgyu jawab dengan tegas seperti, “Bukan. Salah orang.”

Mengapa demikian?

“Dia udah pakboi, ngenes, jamet, jelek, bau, dekil, pendek so ganteng lagi. Gue ngga suka.”

Hubungan antara adik-kakak memang terkadang seperti musim panas dan musim dingin. Berlawanan jenis musim. Ada masa dimana mereka saling menunjukkan afeksi hangatnya untuk menunjukkan rasa kasih sayangnya pada sesama saudara. Dan ada juga masa dimana mereka saling memberikan afeksi kurang mengenakan pada saudaranya sendiri.

Dan, Beomgyu pun demikian..

“BANG! BANGUN LO! GAUSAH NGIMPI MAU BANGUN RUMAH TANGGA BARENG KAK JAEMIN KALO LO AJA MASIH SUSAH BUAT BANGUN DARI TIDUR!”

Kondisi kamar Beomgyu kini berantakan —tak sepenuhnya. Tapi yang pemilik kamar lakukan bukannya segera membenahi kamarnya sendiri, Beomgyu lebih memilih untuk mengusik Jeno yang masih berpetualang di alam barzah —mimpinya.

“IH! GAUSAH BIKIN PULAU LO! JOROK!” Beomgyu mengamuk. Dan ia melampiaskannya dengan cara memukulkan bantal pada pantat juga wajah Jeno secara bergantian. Dilakukan secara berkala. Namun naas, Jeno tak kunjung terbangun. “BANG JENOO!”

“GYU JANGAN TERIAK-TERIAK! KAKAK BARU TIDUR 2 JAM! MAU ISTIRAHAT!”

“KAK MARK! SUNGCHAN LAGI NONTONIN PORORO, JANGAN BERISIK!”

Wajah Beomgyu murung seketika. Matanya tak lepas dari eksistensi Jeno yang tertidur dengan aliran pulau kering di bantal milik Beomgyu.

Sebuah ide tiba-tiba saja terlintas di pikiran Beomgyu. Sebelum ide itu lenyap, ia dengan segera membisikkan idenya itu pada Jeno. Berharap saja setelah ini mata sipit Jeno segera membuka dan tubuhnya itu segera pergi dari kamar Beomgyu.

“Bang.. sewesewensjsjskksksosksososksksk akaoakaoakoakao.”

“Yang bener?”

Cara Beomgyu berhasil. Jeno langsung beringsut duduk sedetik kemudian dengan matanya yang terbuka. Binar wajahnya cerah sekali. Meski jejak aliran sungai kecil kering masih menempel di pipinya.

“Buruan!”

...

“BEOMGYU!”

Jaehyun keluar dari kamarnya. Kacamata baca masih tersangkut di hidung kepala keluarga Jung itu. Keningnya mengeryit saat mendapati Jeno yang melempar bantal sofa ke segala arah sembari meneriaki nama anak ketiganya. Netra sipit Jeno juga lincah meneliti sudut sofa, membuat rasa bingung di benak Jaehyun semakin menjadi.

“Nyariin apa kamu? Uang recehan?” tanya Jaehyun kemudian. Kasihan juga melihat kengenesan wajah Jeno. “Mau buat apa? Pake uang yang ada aja. Gausah cariin recehan.”

Jeno yang sadar akan eksistensi Jaehyun langsung mengalihkan atensi. “Ayah!” sapanya dengan intonasi riang.

Jaehyun tersentak selama beberapa saat. “Apa?”

“Bantuin Jeno cari Beomgyu di selipan sofa, Yah!”

Kadang Jaehyun bingung. Mengapa kelakuan anak-anak juga istrinya terkadang sulit di percaya oleh dirinya sendiri? Jika itu Taeyong, ia tak akan lagi heran. Tapi, anak-anaknya..

NANO JUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang