PS.2 24 - Tangisan Tanpa Henti

115 23 0
                                    

"Ma, apa susahnya, mama baik-baikin Ara? Mama tau kan siapa dia? Mama cuma perlu baik-baikin dia, bikin dia deket sama mama dan mama bisa minta maaf sama ibunya. Sesimpel itu. Buat dia gak bisa lepasin mama karena mama terlalu baik sama dia." kata Ghifari.

DEG!

Hatiku benar-benar bagaikan tersambar petir saat ini. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Air mataku menetes seketika. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Aku sungguh tidak tahu apa maksud dari pertakaan Ghifari tapi aku tahu dari apa yang dikatakan oleh dirinya, dia tidak tulus kepada diriku.

Minta maaf sama ibunya.

Aku hampir saja teriak saat itu juga. Aku tidak tahan. Aku ingin berteriak dan menangis, namun semuanya aku tahan. Aku tidak mau seperti itu.

Mataku mulai berkaca, hatiku sakit sekali. Air mataku bahkan sudah jatuh. Lalu aku memilih pergi meninggalkan kamar tersebut. Aku tidak mau berurusan lagi dengan Ghifari. Masa bodoh dengan semua pemberiannya.

Ya Allah, kenapa rasanya sakit sekali? -batinku.

Aku menuruni tangga sambil menghapus air mataku. Sesampainya di ruang tamu. Aku tidak menemukan Budenya Ghifari di sana. Aku bersyukur dalam hati.

Lalu akupun berjalan keluar dari rumah tersebut.

Sungguh, aku tidak tahu apa yang tengah terjadi kepada diriku namun rasanya sakit sekali. Mengapa Ghifari membawa-bawa ibuku? Mengapa dia jahat sekali mengatakan kalau ibunya harus membaik-baiki aku agar.. Ah, rasanya sakit sekali.

Apa ini jawaban mengapa dirinya mengambil secarik kertas itu? Karena dirinya tahu masa lalu mama? Dia mengenal Mama. Dan pertemuan kita hanyalah sebuah scenarionya? -Tanyak

Aku keluar dari rumah Ghifari. Beruntung tidak ada satpam penjaga.

"Lho, Za? Kenapa?" tanya Bang Haidar yang ntah dari mana datang menghampiriku.

Aku menatap Bang Haidar dengan mata berurai air mata, aku menggeleng. Aku tidak tahu Bang Haidar ada di kubu mana dan aku juga tidak tahu apakah dia orang baik atau tidak. Aku hanya bisa menangis tanpa bisa mengatakan apapun.

"A-aku mau pulang." kataku sambil menangis.

"Ayo, ikut abang!" seru Bang Haidar

Aku menurut saja karena aku tidak bisa berbuat apa lagi selain mengikuti dirinya. Aku tidak kuat untuk mengatakan sesuatu. Mengenai jahat atau tidaknya nantilah biar kupikirkan lagi.

Bang Haidar mengajakku untuk ke garasi dan masuk ke dalam mobil, lalu kamipun pergi melesat menggunakan mobilnya.

Aku menangis sejadi-jadinya di dalam mobil Bang Haidar. Aku benar-benar tidak bisa menahan lagi rasa sesak di dalam dadaku. Aku benar-benar tidak bisa.

Tak lama kemudian, Bang Haidar menepikan mobilnya ke sebuah taman pinggir danau dan menatapku.

"Ada apa? kenapa kamu nangis kayak gini?" tanya Bang Haidar.

Melihat Bang Haidar yang seperti ini membuat aku merasa seperti memiliki kakak laki-laki. Aku masih menangis di sampingnya.

"Tarik nafas dulu, iya tarik nafas trus hembusin." kata Bang Haidar.

Aku pun mengikuti intruksinya.

"Ada apa?" tanya Bang Haidar.

"Siapa sebenernya Ghifari, Bang?" tanyaku.

Menyebut nama Ghifari membuat aku menangis lagi. Aku benar-benar kuat mengiat apa yang aku lihat dan dengan tadi di kamarnya. Namun, aku merasa begitu takut dan sakit hati mendengarnya.

"Maksudnya?" tanya Bang Haidar.

Aku menggelengkan kepala. Aku benar-benar bingung harus mengatakan apa. Aku juga tidak tahu kalau Bang Haidar memang orang baik atau tidak. Sebab aku begitu mempercayai Ghifari namun Ghifari justru membuatku merasa tidak akan pernah lagi mempercayainya.

"Cerita sama abang. Ini semua gara-gara Ghifari?" tanya Bang Haidar.

Aku hanya bisa menangis.Aku tidak tahu mengapa aku bisa terus menangis tanpa memiliki rasa malu sedikitpun kepada Bang Haidar seperti saat ini.

"Abang udah bilang dari awal. Jangan dekat-dekat dia. Dia nggak bisa ditebak, Za. Dia bukan manusia. Dia gak punya hati." kata Bang Haidar.

Aku terus menangis. Bang Haidar hanya bisa mengusap kepalaku. Setidaknya aku punya seseorang yang bisa menenangkan aku untuk saat ini.

Tak lama kemudian ponselku berdering. Aku langsung mengambil ponselku yang ada dalam tas dan langsung melihat layar ponsel karena takut kalau panggilan itu berasal dari Bi Shanti.

Ternyata dugaanku salah. Panggilan itu berasal dari Ghifari. Nama Ghifari terpampang jelas di sana. Melihat namanya aku kembali menangis.

Bang Haidar langsung mengambil ponselku, aku hendak mengambilnya namun dirinya menyingkirkan tanganku.

"Dia lagi sama gue. Gue yang bakal anterin dia pulang." kata Bang Haidar.

Bang Haidar langsung memutuskan sambungan telepon tersebut dna langsung memasukkan ponselku ke dalam tasku.

"Jangan pernah tangisin cowok kayak dia, Za." kata Bang Haidar.

Bang Haidar menatapku lekat.

"Kamu tahu kan kalau dia bukan adik kandungku?" tanya Bang Haidar.

Aku mengangguk.

"Dia dan keluarganya adalah penghancur keluarga Abang. Jadi, abang mohon. Jangan percaya apapun sama dia." kata Bang Haidar.

Aku terdiam meresapi kata-kata yang dikatakan oleh Bang Haidar tersebut. Aku pun langsung memikirkan kemungkinan yang sangat tidak masuk akal menurutku namun aku hanya ingin memastikannya.

Bang Haidar mengatakan kalau Ghifari dan keluarganya telah menghancurkan keluarga Bang Haidar. Bang Haidar mencari keberadaan ibu dan adiknya. Ibuku dan aku hanya tinggal berdua. Ghifari mengatakan kalau ibunya harus baik kepadaku agar bisa meminta maaf kepada ibuku. Jangan- jangan...

Aku menutup mataku dan membiarkan sisa-sia air mataku turun.

"Bang, aku mau pulang." kataku dengan susah payah kepada Bang Haidar.

Bang Haidar menghembuskan nafas kecewa karena aku tidak mau menceritakan apa yang terjadi kepada dirinya. Namun, Bang Haidar mencoba tidak menuntutku untuk bicara.

"Okelah kalau itu bisa bikin kamu seneng." kata Bang Haidar sambil mengusap kepalaku.

Aku tersenyum. Lebih tepatnya aku mencoba memaksakan senyumanku kepada Bang Haidar. Aku benar-benar ingin sampai rumah dengan cepat. Dan ingin tahu selanjutnya.

"Udah nggak usah nangis lagi. Kayak anak kecil aja nangis-nangis." kata Bang Haidar.

Aku hanya bisa mengerucutkan bibirku karena sebal dikatakan anak kecil oleh Bang Haidar. Bang Haidarpun tersenyum. Bukan terkekeh. Aku jadi teringat Ghifari. Bila Ghifari berada di posisi Bang Haidar saat ini tentu dirinya akan langsung terkekeh dan langsung memberiku kata-kata yang tidak masuk akal juga menyebalkan.

Aku merutuki diriku dalam hati karena aku terus menerus menyebut nama laki-laki jahat itu.

Ghifari. Ghifari adalah laki-laki terjahat yang pernah aku temui. Aku benar-benar membencinya sampai ke ubun-ubun saat ini. Apa maksudnya melakukan ini semua kepadaku?

Aku benar-benar tidak menyangka kalau Ghifari adalah laki-laki yang begitu kejam. Aku benar-benar tidak menyangka.

Bang Haidar kembali kepada kemudinya lalu mulai menginjakkan kakinya pada pedal gas untuk menjalankan mobil. Lalu, mobil pun segera melesat pergi. Ini adalah kali pertama Bang Haidar mengantarku pulang sebab yang biasa mengatarku pulang adalah Ghifari. Argh, mengapa kepalaku terus dipenuhi dengan laki-laki jahat itu?

"Rumah kamu di mana?" tanya Bang Haidar.

"Gunung Sindur, Bang." kataku jujur.

Bang Haidar mengangguk dan kembali fokus ke depan. Sedangkan aku, fokus mengelap wajahku dengan tisu.


Pemanis Sendu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang