PS2.12 - Penuh Tanya

885 163 27
                                    

Selama perjalanan, fikiranku terfokus pada kata-kata Bang Haidar. Apa maksud Bang Haidar sebetulnya? Mengapa dia mengatakan bahwa Gifari yang notabene adalah adiknya adalah sosok yang berbahaya? Karena tak kunjung menemukan jawaban, jadi aku memutuskan untuk menganggap kalau pertengkaran mereka hanya sekadar pertengkaran kaka beradik yang lazim terjadi dan tak berarti. Aku tak mau meragukan Gifari atau terbawa emosi Bang Haidar.

Setelah mengantarkan aku pulang, Gifari pamit untuk langsung pergi. Setelah ku iakan, diapun pergi. Aku terpaku pada mobilnya yang hilang ditelan malam. Aku menengadah, menatap langit sambil kukatakan dalam hati, "Ada apa sebetulnya?" Lalu mengangkat bahu. Tak ada jawaban.

Saat baru satu langkah hendak memasuki pintu. Suara mobil terdengar mendekat. Aku menoleh, ternyata Gifari. Dia keluar dari mobilnya. Lalu keluar dan mendekatiku. Aku menaikkan alis bingung.

"Aku mau bicara." Katanya.

Dia menggunakan aku kamu. Ini tandanya penting. Aku mulai menerka-nerka apa yang hendak dikatakannya. Mungkinkah dia akan menjelaskan apa yang terjadi antara dia dan Bang Haidar?

Aku melihat dia mengambil nafas untuk menenangkan diri.

"Aku mencintaimu." Katanya.

Deg!
Apa aku tak salah dengar?

Deg!
Deg!
Deg!

Kalimat yang cukup membuatku terdiam. Apa maksudnya? Apakah dia sedang berbohong? Apa ini hanya akting belaka? Aku menatap matanya, mencoba mencari kebenaran di sana.

"Sungguh. Aku mencintaimu, Ra. Terlepas dari segalanya, aku benar-benar tulus mencintaimu hingga rasanya aku ingin mati membayangkan jika suatu saat nanti kau akan pergi meninggalkanku." Katanya.

Matanya lurus memandang mataku, dan tangannya mulai menggenggam tanganku. Genggaman itu penuh kecemasan, gemetar, dan jujur. Aku terpaku, bingung harus mengatakan apapun. Aku seperti bukan aku. Jantungku benar-benar berdebar.

"Sungguh aku tak berhak menyuruhmu untuk mencintaiku juga. Aku hanya ingin mengatakan itu, aku mencintaimu dengan sungguh-sungguh. Dan aku hanya ingin meminta satu hal..." Katanya mulai menggantungkan kalimatnya. "Tetaplah di sampingku." Katanya. Menatapku semakin dalam.

Dia menempelkan tanganku kepipinya. Lalu, dia hendak mencium tanganku.

"Non Araaa!" Teriak Bi Santi mendekat.

Aku melepaskan tanganku dari Gifari. Semua kata-kata Gifari seakan lenyap, tergantikan kecemasan akan terjadi sesuatu pada mama. Tanpa berfikir panjang lagi, aku langsung masuk ke dalam rumah. Kutinggalkan Gifari dan Bi Santi di depan rumah.

Sesampainya di dalam aku langsung mencari keberadaan mama. Ternyata mama sedang duduk di kamar. Dengan cemas ku hampiri beliau. "Mama, kenapa?" Kataku, mencium keningnya.

Aku mulai memperhatikan mama. Memeriksa apa yang salah namun tak ku temui ada yang bermasalah dengan Mama. Mama sehat, sepertinya tak ada apapun yang terjadi. Tapi mengapa Bi Santi berteriak tadi. Setelah memastikan mamaku baik-baik saja. Akupun keluar hendak menemui Gifari. Aku menyesal dengan apa yang kulakukan barusan. Seharusnya aku dengarkan dulu penjelasan Bi Santi dan tidak meninggalkan Gifari begitu saja. Apalagi di saat dia menyatakan perasaannya padaku. Memikirkan hal tadi jantungku makin deg-degan dan kurasakan pipiku panas.

Sesampainya di depan, aku tak mendapati mobil Gifari. Sepertinya dia sudah pulang. Jujur aku merasakan kecewa. Di sana hanya ada Bi Santi. Tunggu, mengapa Bi Santi mengusap matanya? Apa jangan-jangan beliau menagis? Mengapa demikian?

"Bi Santi kenapa menangis?" Tanyaku.

"Waduh, cuma kelilipan aja kok non hehe." Kata Bi Santi, sambil tertawa. Namun saat tertawa air mata itu makin deras.

"Ih, Bi Santi kenapa?" Kataku memeluk Bi Santi. Jujur tawanya seperti begitu menyatat.

Beliau menangis dipelukanku. Ada apa dengan beliau?

"Bi Santi sakit?" Tanyaku setelah Bi Santi melepas pelukanku.

"Tidak non. Cuma lagi sensitif aja ini, PNS." Katanya.

"PMS kali, Bi." Kataku. Kini aku mengerti mengapa Bi Santi terlihat sangat aneh hari ini. Aku mengerti yang di rasakan Bi Santi. Karena akupun sering demikian ketika sedang datang bulan.

Mendengar kata-kataku, Bi Santi tertawa lagi. Kali ini aku ikut tertawa.

"Oiya, tadi kenapa, Bi?" Tanyaku penasaran.

"Oh itu, nggakpapa itu tadi anu. Apa toh. Anu, jujur Bi Santi tadi mau bilang mesin cucinya mati sendiri." Kata Bi Santi.

"Ya ampun. Bi Santi ternyata panggil aku karena mesin cuci? Aku kira karena mama. Jangan-jangan Bi Santi nangis juga karena itu? Aku gak akan marah-marah kok, Bi. Tenang aja ya." Kataku.

Beliau tertawa.

"Yuk, masuk Bi." Kataku mengajak Bi Santi.

Kini aku benar-benar merasa bersalah pada Gifari. Sepertinya dia benar-benar marah kepadaku. Lihat saja, dia pergi begitu saja. Apa aku keterlaluan tadi? Sesakit apakah hatinya aku perlakukan demikian? Terlalu banyak pertanyaan hari ini.

"Non, bibi mau bicara." Kata Bi Santi.

Aku merasa de javu. Sepertinya ini karena rasa bersalahku pada Gifari.

"Kenapa, Bi?" Tanyaku.

"Boleh bibi tanya hal pribadi?" Beliau menjawabku dengan pertanyaan.

"Boleh, Bi." Kataku.

"A-apakah nama ibunya non itu, Nindy?" Tanya beliau.

Aku terpanah. Pasalnya aku tak pernah mengatakan nama ibuku pada siapapun termasuk Bi Santi. Dari mana beliau tau nama ibuku.

"Apa mungkin nama ibunya non, Nindy?" Kata Bi Santi. Beliau memandangku. Air mata mulai berlinangan di matanya beliau. Melihat aku yang diam saja menimang jawaban, beliau melanjutkan, "Anindya Athaya Zahran?" Katanya lalu air matanya sempurna jatuh.

Aku mengangguk. Mengapa Bi Santi bisa tahu nama lengkap mamaku? Apa jangan-jangan Bi Santi mengenal mamaku? Atau jangan-jangan Bi Santi keluarga mama? Aku mulai berharap banyak.

"MasyaAllah." Beliau langsung memelukku dengan penuh haru.

****
Kangen betul rasanya kembali posting cerita penjara suci 2. Terima kasih untuk yang sudah membaca, menyukai, dan menanti cerita-ceritaku yaaa.

Pemanis Sendu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang