PS2.4 - Dipecat

4.6K 377 6
                                    

          Matahari sudah menunjukkan wajahnya yang riang. Ntah untuk keberapa kali raut wajah riangnya amat berbanding terbalik denganku. Wajahku muram melihat jarum jam yang terus mengejek mengisyaratkan aku kesiangan. Aku harus bagaimana sekarang? Aku harus pergi ke tempat kerjaku, namun aku belum membuatkan sarapan untuk ibu. Tanpa berfikir panjang lagi, aku lari ke dapur membuatkan makan untuk ibu lalu menyuapi beliau.

"Mama, Ara kerja dulu ya." kataku. Lantas mencium kedua pipi dan kening ibuku lembut sambil tersenyum.

Aku bergegas berangkat ke Toko Roti tempatku bekerja. Namun ntah mengapa rupanya hari ini keberuntungan sedang tidak berpihak kepadaku. Tak ada satu angkutan umumpun yang menuju kearah tempatku bekerja. Aku melirik jam tanganku lantas melotot dan berlari secepat yang ku bisa. masa bodoh dengan sepatu baru.

"M-maaf nyonya, s-sa-ya telat." Kataku sesampainya di toko.

Bosku yang masih berusia 35tahun bermata sipit itu memandangku dengan tatapan seakan mengatakan 'Sekarang apa lagi?' kepadaku. Aku berkali-kali meminta maaf namun raut wajahnya tetap begitu adanya.

"Saya sudah sering sekali memberimu kelonggaran waktu bekerja selama ini. Namun jika terus-terusan seperti ini, toko saya akan cepat gulung tikar. Jadi seperti janji saya minggu lalu jika kamu telat lebih dari satu jam ke sini, kamu saya pecat." Kata Nyonya, sang pemilik toko.

"Maaf nyonya, saya janji tidak akan mengulangi hal yang sama." Kataku untuk terakhir kali. Mencoba memasang wajah paling miris yang aku punya.

"Tidak. Sudah terlalu banyak janji yang saya dengar dari mulut kamu Ara, sekarang terima uang pesangon ini. Dan mulai saat ini kamu bukan lagi karyawan di sini." Kata Nyonya, lantas melangkahkan kaki ke ruangan pribadinya.

"Tapi, Nya!" aku tak setuju. Bagaimana mungkin ini terjadi. "Jangan pecat saya, Nya." kataku. namun tak ada sautan. Hanya rakan kerjaku yang menghampiriku menepuk punggungku, lantas kembali bekerja sambil menatapku dengan tatapan iba.

Aku memutuskan untuk keluar. Kadang di saat-saat seperti ini. Aku hanya ingin menangis dalam pelukan seseorang. Kepalaku tiba-tiba terasa pening. Air matakupun terus menderas. Aku hanya bisa berjalan lunglai hingga sebuah benda padat menimpa kepalaku. Mau tak mau kesadaranku pulih kembali.

Wajahnya tak asing dipenglihatanku. Laki-laki bermata bening. Bukan. Aku tidak membahas mengenai novel baru itu, aku membahas mata laki-laki itu yang benar-benar bening. Dia orang yang sama, seseorang yang sangat menyebalkan dan menyenangkan salam satu waktu.

"Elo?"

"Kamu?!"

"Iya kamu."

"Hahaha!" tawanya renyah.

Seketika aku menyadari sesuatu. Lalu mengumpat pelan. Menyadari kebodohan yang baru saja ku lakukan. Untuk ntah keberapa kali rasanya aku ingin protes kepada ibuku, kenapa ibuku mewarisiku ke-oon-an yang tak bisa ku atasi pada waktu-waktu tertentu. Apakah ini memang warisan dari ibuku? Sebab seseorang pernah bilang bahwa anak yang cerdas dilahirkan oleh ibu yang cerdas dan sebaliknya. Tapi tidak. Pasti bukan dari ibuku. Ini pasti karena aku tidak pernah mau belajar.

"Hidup ini ya, kayaknya nggak mau banget berteman sama gue. Padahal gue udah berbuat baik tapi kenapa hari ini gue nggak disambut sama hal baik juga?! Aih manusia." kataku, sambil berjalan menjauhi laki-laki aneh tadi.

Meski ia telah membelikanku sepasang sepatu baru namun aku tidak mau berurusan lagi dengannya. Gayanya tengil, terlihat sekali ia merupakan typikal seorang pria yang tidak akan pernah memberikan penghargaan terhadap wanita. Senyumnya candu, itu sudah pasti salah satu aset berharganya yang ia gunakan untuk mengencani wanita-wanita murahan. Cih!

Pemanis Sendu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang