PS.2 35 - Akhir Kejahatan

55 5 0
                                    

Tubuh itu jatuh begitu saja. Aku melihatnya dengan mataku sendiri. Di sana, Ghifari sudah terkapar menatapku sambil memegangi perutnya yang terkena peluru.

Aku mulai berlari ke arahnya. Aku langsung memeluk tubuhnya begitu saja. Dia sangat bodoh. Kenapa dia harus merelakan nyawanya demi aku? Apa dia pikir dia memiliki 9 nyawa?

“Ghif, …” panggilku dengan air mata berlinangan.  Aku memeluknya sambil menangis. Aku membenci diriku sendiri karena aku sudah meragukan kesetiaannya.

Apa yang terjadi pada Ghifari kali ini tentu menunjukkan kalau dia sebetulnya berpihak kepadaku. Namun, apa yang aku lakukan? Setelah membuat kepadanya berdarah, aku harus membuat dia tertembak demi membebaskan aku.

“CEPAT PERGI, BODOH! SELAMATKAN MAMA!” seru Ghifari dengan sekuat tenaga.

Aku seketika teringat kepada ibuku. Apa yang dia katakan benar. Aku juga harus menyelamatkan ibuku. Kali ini, aku benar-benar bingung. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Di pelukanku Ghifari sudah terkapar dan mulai tak bersuara. Namun, di sana ibuku tak ada yang melindungi.

Aku mulai menangis.

Aku bingung dengan apa yang harus aku lakukan. Di satu sisi, aku tidak bisa membarkan Ghifari sendirian, namun di sisi lain, aku juga tidak bisa membiarkan ibuku dalam keadaan bahaya.

Aku sangat bingung, benar-benar bingung. Apa yang harus aku lakukan saat ini, Ya Allah?

“PERGI, NAK! PERGI!” seru ibuku.

Aku mendongak, dan seketika aku melihat Bude Ulfa yang sudah tersenyum licik di tempatnya dan dia tengah mengacungkan pistolnya ke arah ibuku.

Tanpa berpikir lagi, aku langsung menerjangnya hingga letusan pistol ntah mengarah ke mana.

“Kau benar-benar perempuan yang sangat kejam!” Seruku yang sudah gelap mata.

Kami mulai berguling, aku mencoba mengambil pistol di tangannya namun meski beliau sudah tua, namun beliau masih memiliki kekuatan yang sangat besar, aku sampai tidak bisa mengimbanginya.

“Kenapa kau menghalangiku, Anak Sialan? Apa kau tau? Seharusnya kalian memang tidak pernah mececap kehidupan. Kalian itu sudah seharusnya mati sejak lama!” seru Bude Ulfa.

Aku langsung membenturkan kepalaku kepada Bude Ulfa. Hingga kepala kami sama-sama berdarah.

“Anak sialan!” seru Bude Ulfa.

Pistol itu kini beralih tangan kepadaku. Aku buru-buru bangkit, namun Bude Ulfa memukulkan balok kepadaku. Ntah dari mana balok itu berada.

Bude Ulfa langsung mengarahkan pistol itu, aku pun langsung mencoba menghalanginya dengan pandangan yang berkunang-kunang. Kepala bagian belakangku sudah berdarah. Namun, aku rela mati untuk melindungi ibuku.

Selama ini, Ibuku sudah banyak menderita. Aku tidak akan pernah membiarkan ibuku menderita lebih lama lagi.

Ibuku ntah bagaimana sudah berada di sisiku. Dia langsung memelukku.

“Astaghfirullah, Kak. Kau benar-benar keterlaluan, hentikan semua ini, aku mohon!” seru Ibuku.

Aku tau kakinya begitu sakit untuk digunakan berjalan, mengesot pun tubuhnya merasa kesakitan namun beliau tetap berlari menujuku dan mencoba melindungiku.

Bude Ulfa langsung mengambil balok lagi, lalu mengarahkan ke arahku dan hendak memukulku lagi, namun ibuku yang mencoba melindungiku membuat balok itu mengenai ibuku.

“Kau benar-benar keterlaluan, Bude!” Seruku.

“Berhenti, Kak. Aku mohon!” seru Ibuku kepada Bude Ulfa sambil membuang balok itu jauh-jauh.

Pemanis Sendu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang