PS.2 45 - Sepuluh Tahun Kemudian

60 4 0
                                    

Sepuluh tahun kemudian.

Waktu begitu cepat berlalu dan aku benar-benar tidak menyangka kalau aku bisa mendapatkan remisi dan bebas. Hukumanku yang awalnya lima belas tahun menjadi sepuluh tahun, aku tidak begitu memahami bagaimana caranya aku bisa mendapat sedikit keringanan namun yang aku tahu, ini murni dari pihak kepolisian.

"Bos, hari ini bos bebas?" Tanya tahanan 1212, namanya Rika.

Aku tersenyum padanya dan menganggukkan kepalaku. Semua yang ada di sel ini berkumpul dan berkerumun di dekatku. Mereka sudah seperti sahabat dan keluarga untukku karena kami selalu bersama-sama selama sepuluh tahun terakhir ini. Beberapa memang sudah ada yang bebas namun beberapa lagi masih di sana.

"Iya, aku mau terima kasih sama kalian karena kalian sudah sangat baik sama aku. Semoga kalian juga lekas dibebaskan dan kembali ke keluarga kalian. Amin." Kataku dengan tulus.

Semua teman-temanku memelukku. Aku tersenyum dan menepuk-nepuk mereka mencoba menenangkan mereka. "Bos, kalau kita keluar, kita bakalan cari Bos. Bakalan jadi anak buah yang nurut, Bos. Iya kan?" Kata Rika.

Aku tersenyum sambil menyeka air mata yang sudah ada di ujung mata. "Berhentilah memanggil aku Bos. Aku bukan bos kalian. Panggil Ara saja. Siapa pun boleh menemuiku. Berjanjilah padaku kalau kalian akan terus berbuat baik ya? Terlepas dari buruknya masa lalu kita, kita harus jadi manusia yang lebih baik lagi untuk masa depan." Kataku.

"Siap, Bos!" Semua orang menangis lagi.

Seorang sipir datang, itu menunjukkan kalau aku harus pergi saat ini juga. Aku pun langsung bangkit dan pamit kepada semuanya.

Tangis harus menyelimuti kami semua. Aku pun mulai keluar, di sel-sel lain, para tahanan pun ikut menangisi kepergianku, aku hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk mereka semua. Memang tidak semua orang menyukaiku namun sepertinya jumlah orang yang menyukaiku lebih besar. Aku juga tidak bisa memaksakan orang lain agar suka kepadaku.

Aku beberapa kali menyeka air mataku, bahkan jilbab yang aku kenakan sepertinya sudah basah karena sesekali aku gunakan untuk mengusap air mata.

"Selamat atas kebebasan anda." Kata sipir yang mengantarku sambil tersenyum.

Aku tersenyum, "Terima kasih, Bu." Jawabku.

"Araaa!" Seru seseorang.

Aku menoleh dan melihat keluargaku sudah berkumpul, aku langsung menghampiri keluargaku. Tangis haru kini sudah mulai menyelimuti kami. Di sana ada Kakek Labib, Nenek Aisyah, Kakek Surya, Nenek Rina, kedua orang tuaku, Bi Shanti, dan Bang Haidar.

"Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah." Semua orang memanjatkan syukur kepada Allah SWT. Aku memeluk mereka satu persatu.

Di antara semuanya, aku menoleh ke kanan dan ke kiri, ada satu orang yang paling aku tunggu kedatangannya. Namun, aku tidak melihat laki-laki itu di manapun. Iya, laki-laki yang kucari adalah Ghifari. Dan ibunya, Tante Farha.

"Cari apa, Nak?" Tanya ibuku.

Aku tersenyum begitu saja dan menggelengkan kepalaku begitu saja. "Tidak cari apa-apa, Ma." Kataku.

***

Seminggu berlalu.

"Ra, ikut Abang yuk!" Ajak Bang Haidar.

"Ke mana, Bang?" Tanyaku.

"Ke Mall. Kamu gak bosen apa seminggu di rumah terus?"

Aku tersenyum, "Bukannya perempuan emang baiknya di rumah aja, Bang?"

"Ya iya sih tapi kan pasti bosen. Udah, kamu ganti baju ya, Abang tunggu di bawah. Kali ini gak boleh nolak."

Aku menganggukkan kepalaku menurut saja. Tidak enak juga kalau terus menerus menolak. Aku pun berganti pakaian dan mengekori Bang Haidar untuk masuk ke dalam mobil setelah berpamitan dengan kedua orang tua kami. Setelahnya, kita pun langsung berangkat ke ntah ke mana.

Pemanis Sendu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang