PS.2 26 - Sebuah Harapan

116 23 0
                                    

Aku membeku di dalam pelukan Bang Haidar. Air mataku seketika menderas. Aku benar-benar tidak mengangka kalau Bang Haidar mengatakan kalau aku adalah adiknya. Dan ternyata dugaanku benar.

"Enggak, Bang. Itu nggak mungkin." kataku. Sambil melepasakan tangan Bang Haidar.

Bang Haidar menatapku dengan tatapan sedih. Ini kali pertama aku melihat Bang Haidar yang terlihat sangat sedih seperti saat ini.

"Bantu Abang tes DNA, Za. Abang yakin. Abang yakin kalau Abang nggak salah kenalin mama.." kata Bang Haidar.

Bang Haidar tepat jatuh pada saat dirinya menyebut nama Mama. Aku menjadi sangat sedih melihat bagaimana keadaan Bang Haidar yang terlihat sangat menyedihkan ini.

Aku benar-benar tidak tega. Jujur saja melihat mata merah dan air mata Bang Haidar yang turun membuat aku seakan percaya kalau Bang Haidar adalah kakak kandungku yang selama ini telah melakukan banyak upaya untuk mencari keberadaanku dan Mama.

Namun, meski aku percaya dengan kata-kata yang Bang Haidar katakan, tetap saja aku harus memastikannya terlebih dahulu. Aku tidak mau Bang Haidar salah orang dan akupun salah telah menganggap Bang Haidar sebagai kakakku.

"Besok, Bang?" tanyaku.

"Bagaimana kalau sekarang juga?" taya Bang Haidar setelah mengusap wajahnya.

Aku mengangguk. Aku rasa lebih cepat lebih baik. Aku pun langsung masuk dan berpamitan kepada Bi Shanti dan Mama. Dan tak lupa aku mengambil beberapa helai rambut mama yang kebetulan rontok di bawah jilbabnya. Aku langsung mengantonginya sebelum membuat semua orang curiga.

"Ini udah malem lho, Ra. Apa nggak apa-apa?" tanya Bi Shanti.

"Bibi tenang aja. Aku aman sama Bang Haidar." katku.

Seleh meyakinkan dan bepamitan akupun langsung kembali menemui Bang Haidar dan langsung pergi ke rumah sakit.

Hingga akhirnya tes DNA pun dilakukan, Aku dan Bang Haidar hanya diam, kini kepala kami dipenuhi dengan masing-masing pikiran. Aku berharap kalau Bang Haidar adalah kakaku namun bila dia adalah Kakakku. Sungguh aku tidak mau kalau keluargaku sampai disuruh tinggal di rumahnya.

Aku tidak mau menjadi beban ataupun benalu dalan keluarga yang tidak terlihat membuka tangan untukku dan aku yakin kalau merekalah yang menelantarkan ibuku dan aku. Apa lagi aku belum mengetahui apa maksud ini semua.

Namun, aku jadi teringat kata-kata Bang Haidar yang mengatakan bahwa dirinya tidak akan membawa aku dan mama ke rumah itu bahkan akan menjauhkan kami dari rumah itu untuk sesuatu yang juga belum aku tahu.

Ya Allah, aku hanya bisa memasrahkan semuanya kepada Engkau. Hamba pasrah Ya Allah. - batinku.

"Ayo, kita pulang, Za." kata Bang Haidar.

"Lho, nggak nunggu hsilnya, Bang?" tanyaku.

"Hasilnya seminggu." kata Bang Haidar.

"Nggak bisa dipercepat?" tanyaku.

"Paling cepat sehari, itupun harus pakai darah." jawab Bang Haidar.

Aku terdiam. Aku tidak mungkin menyakiti Mama. Aku akan bersabar mungkin inilah jalannya, aku harus menunggu dan menunggu lagi.

"Selama seminggu, Abang mohon, jangan beritahu ini kepada siapapun. Setelahnya nanti kita bicarakan lagi. Dan Abang mohon hindari Ghifari untuk sementara dan jangan ke rumah abang dulu sebelum kita tahu hasilnya." kata Bang Haidar.

"Baik, Bang." kataku kepada Bang Haidar.

Aku pun menurut. "Semoga kamu memang adikku, Za. Dalam dunia ini, hal yang paling Abang harapkan dan selalu abang doakan adalah Abang bisa bertemu dengan kamu dan Mama." kata Bang Haidar.

Pemanis Sendu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang