PS.2 34 - Suara Tembakan

46 3 0
                                    

Orang yang datang adalah Ghifari. Laki-laki jahat yang sungguh ingin kubunuh saat ini juga. Aku juga merutuki diriku, karena aku berani menjatuhkan hatiku kepada laki-laki tak punya hati seperti dia.

"Udah puas? Puas lo buat gue sama nyokap gue begini?! Sekarang lo mau apa lagi? Apa lagi, hah?" Seruku dengan air mata yang kini berlinangan.

Rasanya hatiku sakit sekali mengingat dia adalah orang yang aku rasa dekat denganku. Mungkin rasanya tidak akan sesakit ini kalau orang itu bukan dirinya.

Ghifari menoleh ke kanan dan ke kiri seperti memastikan sesuatu, namun yang jelas dia membawa makanan dan meletakkannya di depanku dan mama.

Dia langsung mengulurkan tangannya ke tanganku yang aku julurkan ke depan dan kubuat masih terbebat tali. Ghifari hendak membuka ikatan taliku namun aku tak sudi disentuhnya jadi aku langsung menarik tanganku kembali hingga tali itu lepas. Dengan sendirinya. Ghifari menatap tanganku. Mungkin dia bertanya-tanya mengenai bagaimana caranya tapi itu bisa terlepas dengan sendirinya.

Tatapannya begitu dalam.

Lalu dia menoleh ke arah mama dan langsung membuka ikatan di tangan Mama tanpa diminta. Ntah apa maksudnya.

"Terima kasih, Nak." Kata Mama.

"Jangan bicara kepadanya, Ma. Dia adalah orang jahat. Lebih jahat dari Bude Ulfa!" Seruku.

Kali ini aku sangat benci kepada diriku sendiri, rasa sakit itu begitu aku rasakan dan air mataku tak berhasil aku hentikan meski berkali-kali aku menghapusnya.

"Apa yang dikatakan Ara benar, Tante. Aku tidak pantas mendapatkan ucapan itu. Aku hanya orang jahat." Kata Ghifari.

"Orang jahat tidak pernah memiliki mata sebening kamu." Kata Ibuku.

Aku menoleh ke arah Ibuku. Tentu saja aku tidak sependapat dengan Ibuku, "Dia memanfaatkan matanya untuk membohongi dan memerangkap kita." Kataku.

Ghifari pun pergi meninggalkan aku dan Ibuku. Aku membencinya setengah mati. Aku langsung mengambil gelas yang ada di depanku dan langsung melemparkannya ke kepalanya bagian belakang.

BUG!

PRANG!

Setelah gelas itu mendarat di kepalanya, gelas itu pecah dan jatuh begitu saja ke lantai. Aku menatapnya dengan kesal. Namun, ntah mengapa ada rasa bersalah yang tak bisa aku jelaskan. Padahal seharusnya aku justru senang karena lemparanku terkena sasaran.

Aku melihat Ghifari yang memegangi kepalanya dan kulihat tangannya berlumur darah.

Kepalanya yang berdarah, dia menatapku, "Tak perlu merasa bersalah. Aku memang pantas menerimanya." Katanya sambil tersenyum pahit.

Kemudian, dia keluar pergi begitu saja. "IYA! KAMU PANTAS MENERIMANYA, kamu pan-tas ..." Kataku.

Ibumu merengkuhku, aku langsung tenggelam di dalam pelukan beliau. Aku menangis sejadi-jadinya, apalagi ketika tangan beliau mengusap kepalaku

Kenapa dari sekian banyak laki-laki, harus dia? Kenapaaa?

***

Aku menatap nasi yang ada di hadapanku. Aku tak mau makan meski ibuku meminta, rasanya aku tidak sudi melihat apa lagi memakan nasi itu. Rasanya, lebih baik mati konyol ketimbang memakan nasi pemberian dari Ghifari.

"Nak, makanlah. Kita mungkin tidak akan mendapatkan makanan lagi hari ini." Kata ibuku.

Aku tetap menggelengkan kepalaku, "Aku tidak mau, Ma. Aku tidak sudi memakannya."

Ibuku tak lagi memaksa aku untuk makan. Beliau Sepertinya tahu kalau aku keras kepala. Aku tentulah anaknya jadi beliau tahu apa yang aku rasakan dan bagaimana sifatku.

"Mama tahu kamu sangat mencintainya." Ucap ibuku.

Aku lantas menoleh menatap beliau, kemudian kuarahkan pandanganku ke arah lain, "Aku membencinya."

"Sebesar kamu mencintainya?" Tanya Ibuku.

Aku mencoba mencari topik obrolan yang lain. Aku tak mau membahas perasaanku. Perasaan itu tentu tidak penting untuk saat ini.

"Sepertinya sudah waktunya kita untuk pergi, Ma." Kataku.

Aku bangkit dan langsung berjalan menuju ke arah jendela yang ditralis. Aku buru-buru mencari sesuatu yang bisa aku gunakan untuk membuka tralis itu. Kami berdua akan lebih mudah berlari kalau berhasil keluar dari jendela itu mengingat jendela itu langsung terhubung ke hutan.

Tak lama kemudian, aku berhasil melepaskan tralis itu dengan bantuan sebuah besi yang sangat kuat. Aku bersyukur kepada Allah SWT yang telah mempermudah jalanku. Meski tanganku harus berdarah-darah namun bayangan aku yang bisa membebaskan ibuku membuat aku cukup senang.

"Akhirnyaaa ..." Gumamku.

Aku menoleh ke arah Ibuku.

Ibuku hendak bangkit namun beliau meringis kesakitan. Aku buru-buru membantu beliau untuk berdiri.

"Mama, tidak apa-apa?" Tanyaku.

Ibuku menganggukkan kepalanya. Aku buru-buru membantu beliau untuk duduk. "Sepertinya mama tidak bisa berjalan, lebih baik kamu saja yang keluar dari sini. Biar mama di sini saja. Kamu larilah, lari yang jauh, jangan sampai mereka bisa menangkapmu. Pergilah bersama Arum. Dia tidak akan pernah meninggalkanmu." Kata ibuku.

"Arum?" Tanyaku.

"Bi Santimu." Sahut ibuku.

Kini aku sedikit lega karena ternyata ibuku memang mengenal Bi Santi. Itu artinya kecurigaan Bang Haidar tidak berdasar. Berarti itu tidak benar kalau Bi Santi orang jahat.

"Aku tidak akan meninggalkan Mama. Bagaimana pun caranya, aku akan membawa mama pergi. Ayo, Ma." Kataku yang mencoba memapah ibuku.

Kaki ibuku lemas, aku tidak tahu itu. Selama bertahun-tahun ibuku tak bisa melakukan apapun jadi aku paham kalau ibuku tidak bisa langsung normal seperti kita.

Aku mencoba membantu ibuku untuk keluar melalui jendela dengan susah payah. Hingga akhirnya, ibuku bisa keluar. Kemudian aku menyusul beliau.

Aku langsung memegangi tangan ibuku namun kaki ibuku tetap sulit untuk digerakkan. Akhirnya, aku pun langsung membungkuk di hadapan beliau, "Naiklah, Mama." Kataku.

"Tidak, Nak. Pergilah. Tinggalkan mama." Kata ibuku.

"Ma, aku mohon jangan sampai ini semua sia-sia. Menurutlah kepada anakmu." Kataku.

Aku menepuk-nepuk pundakku. Kemudian ibuku pun akhirnya mau melakukan hal yang aku minta. Aku langsung bangkit. Tubuh ibuku memang berat namun aku bisa membawa beliau.

"Ayo, Ma." Kataku.

Aku langsung berjalan dengan berhati-hati dan cepat. Aku tidak mau kalau sampai ada anak buah dari Bude yang datang dan menangkap kami.

Akhirnya dengan susah payah, aku berhasil membawa ibuku untuk keluar rumah itu dan berjalan sedikit menjauh.

"Hei! Jangan kabur kalian!" Seruan seseorang membuat jantungku makin berdegup dengan sangat kencang.

Aku mempercepat langkahku.

BUG! BUG! BUG!

Aku menggantikan langkahku dan menoleh ke belakang sebentar.

"Ada seseorang yang membantu kita." Ucap ibuku.

Aku melihat ada seorang laki-laki berbaju hitam yang tengah berkelahi di sana. Postur tubuhnya seperti Ghifari. Namun, itu tidak mungkin. Ah, aku yang tak mau berpikir lebih jauh. Aku lebih baik pergi begitu saja.

Karena aku tidak terlalu hati-hati akhirnya aku dan ibuku jatuh begitu saja.

"Astaghfirullah Al-Adzim! Mama, maafin aku, Ma." Kataku yang langsung merangkak ke arah Ibuku.

Ibuku menatapku, "Nak, pergilah. Pergi tinggalkan Mama. Kamu tidak akan sanggup untuk membawa mama lebih jauh lagi." Ucap beliau.

Aku menggelengkan kepalaku.

DOR!

Jantungku berdegup dengan sangat kencang mendengar suara tembakan itu. Aku dan ibuku langsung menoleh ke asal suara.

"Astaghfirullah Al-Adzim!" Pekikku.

Pemanis Sendu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang