PS.2 28 - Sebuah Keputusan

320 37 21
                                    

Bang Haidar menggeleng. Dari bagaimana dia merespons ucapanku Bang Haidar seperti tidak setuju jika aku harus pergi membawa Mama.

"Jangan pergi, Za. Semua masalah ini nggak akan selesai kalau nggak diselesain." kata Bang Haidar.

"Tapi, Bang. Kalau sampai bahayain Mama gimana?" tanyaku. "Aku rasa yang abang bilang kalau abang akan menjauhkan kita dari keluarga abang itu keputusan yang bener, Bang." sambungku.

Kini semua yang diatakan oleh Bang Haidar terasa begitu nyata dan aku merasa itu memang jala terbaik dari semuanya.

Aku benar-benar bingung saat ini pikiranku hanya berisi tentang ibuku. Ibuku sudah cukup menderita sehingga aku tidak mau kalau beliau sampai merasakan rasa sakit lagi.

"Kita harus tau akar permasalahannya, Za. Kenapa Ghifari masukin kamu ke rumah, apa rencana ibunya dan bude kalau tahu kamu adalah anak dari mama." kata Bang Ghifari.

"Mereka udah tau bang, kalau aku anak mama. Ghifari bahkan minta ke ibunya buat baik-baikin aku biar ibunya bisa minta maaf ke mama. Biar mama maafin semua yang dilakuin sama ibunya Ghifari." kataku.

"Kamu serius?" tanya Bang Haidar.

"Iya, Bang. Saat aku nangis minggu lalu, aku baru denger itu." kataku jujur.

Bang Haidar menganggukkan kepalanya. "Kayaknya benar, Za. Kamu nggak boleh pergi. Tapi kita harus amanin mama." kata Bang Haidar.

"Maksudnya gimana, Bang?" tanyaku tidak mengerti apa yang dikatakan oleh Bang Haidar.

"Iya. Kita bisa sembunyikan mama dulu, aku punya dokter yang bisa obati mama. Abang harap mama bisa sembuh. Tapi kamu nggak boleh ikut mama, Za. Kamu bantu abang untuk balas semua penderitaan Mama." kata Bang Haidar.

"Bang, aku nggak mau balas dendam. Itu nggak baik, Bang." kataku.

Seketika kata-kata Bi Shanti terngiang-ngiang. Beliau sudah mewanti-wantuku agar tidak membalaskan dendam kepada orang yang sudah menyakiti ibuku.

"Oke. Kita nggak balas dendam. Tapi kita acari tau, Za. Apa kamu nggak mau kalau kita kumpul lagi?" tanya Bang Haidar.

"Lagi, Bang? Aku bahkan belum merasakan kumpul di antara kalian." kataku sambal menghela nafas.

Bang Haidar mengusap rambutku, "Kamu pernah, meski saat dalam rahim mama." kata Bang Haidar.

"Papanya Abang jahat bukan?" tanyaku.

"Za, dia papa kita. Bukan cuma papa Abang." kata Bang Haidar.

Aku menunduk.

"Bukan Papa yang jahat, Za. Tapi keadaan." kata Bang Haidar.

"Yang bertindak sebagai penakluk itu manusia, Bang. Bukan keadaan." kataku.

Memikirkan kalau ayahku telah menikah dengan wanita lain pada saat mamaku sakit membuat hatiku merasa sakit dan tidak terima.

"Baiklah-baiklah. Kita cari tahu saja semuanya. Semuanya, Za. Biar kita nggak cuma berasumsi." kata Bang Haidar.

Aku terdiam memikirkan apa yang dikatakan oleh Bang Haidar. Apa yang disampaikannya kepadaku benar-benar masuk akal dan aku membenarkan semua yang dikatakannya kalau kita harus mencari tahu apa yang terjadi.

"Gimana, kamu setuju kan?" tanya Bang Haidar.

Aku pun hanya bisa menganggukkan kepala, "Oke, Bang. Aku setuju."

"Bersikaplah seperti biasanya. Pura-puralah tidak tahu apapun." kata Bang Haidar.

Aku pun mengangguk setuju.

***

Tiba-tiba aku terbangun, aku melirik jam dinding yang ada di dalam kamar. Kemudian aku mulai beranjak dari tempat tidur karena aku haus. Sebelum pergi, aku melirik Mama yang masib tertidur, aku tersenyum dan langsung mengecup dahi ibuku dengan sayang.

Lalu akupun keluar dari kamar dan menuju ke kamar mandi. Setelah selesai dari kamar mandi, aku pun merasa mendengar suara isakkan. Bulu kudukku tidak merinding karena aku merasa kalau suara itu adalah benar suara tangisan manusia.

Bahkan aku bisa mengenali suara itu, suara itu adalah suara milik Bi Shanti. Aku pun mulai memutuskan untuk berjalan ke kamar beliau dan membuka sedikit kamarnya. Dan benar saja, di sana aku bisa melihat kalau Bi Shanti sedang menengadahkan tangannya sambal menangis.

"Ya Allah, rasanya sakit sekali melihat orang sebaik Mbak Nindy harus mengalami cobaan berat seperti ini. Mbak Nindy orang yang baik, sangat baik, ..." kata Bi Shanti.

Aku terdiam di tempat. Lalu aku pun memutuskan untuk menurut pintu dan langsung berjalan ke kamar lagi. Kali ini aku benar-benar percaya kalau Bi Shanti memanglah sahabat ibuku dan memang orang yang sangat baik.

Melihat Bi Shanti yang melaksanakan salat malam membuat aku membalikkan tubuhku ke kamar mandi lagi dan mengambil air wudu, aku ingin meminta petunjuk kepada Allah SWT agar aku tidak kehilangan arah tujuan.

Setelah salat, aku menengadahkan tanganku. Aku mulai mencurahkan semua yang aku rasakan kepada Sang Khaliq. Malam ini air mataku terus mengalir.

***

"Ara, bangun, Nak." kata seseorang.

Aku pun membuka mata dan mendapati Bi Shanti sedang menatapku. "Kamu kenapa tidur di sini? Nanti badannya sakit toh, nduk." kata beliau.

Aku tersenyum dan menggeleng. Aku mengamati tubuhku yang masih menggunakan mukena. Lalu tanpa melepas mukenaku aku langsung memeluk Bi Shanti.

"Loh, ada apa toh?" tanya Bi Shanti.

"Mau peluk aja. Emang nggak boleh?" tanyaku.

"Ya boleh-boleh aja, tapi dilap dulu itu ilernya. Masa perawan ileran." kata Bi Shanti.

Aku langsung dengan refleks memegangi ujung bibirku dan tidak merasakan apapun. Bi Shanti seketika tertawa, kini aku tahu kalau Bi Shanti sedang menggodaku, beliau hanya berbohong. "Ih, bibi iseng banget sih." kataku mengajukan protes dengan manja.

Bi Shanti terkekeh lagi, "Sudah, sekarang bangun ya?" kata Bi Shanti yang langsung membantuku bangun. Setelah itu aku melepaskan mukena yang masih melekat pada tubuhku.

"Ambil air wudu sana, salat subuh." kata Bi Shanti.

"Iya, Bi ..." kataku sambal memandangi beliau.

"Ada apa lagi toh?" tanya Bi Shanti.

Aku memeluk beliau lagi. Beliau hanya bisa terkekeh namun kali ini aku melihat ada air mata yang jatuh dari sudut mata beliau.

"Kamu ini ... sudah sudah ... nanti waktunya habis." kata Bi Shanti.

"Iyaaa ..." kataku sambal terkekeh.

Lalu akupun langsung keluar kamar menuju kamar mandi dan langsung mangambil air wudu lalu melaksanakan salat subuh.

Pagi pun datang dan tanpa diduga-duga seseorang datang mengetuk pintu rumahku. Akupun tidak bisa menebak siapa yang datang namun aku bisa menebak kalau yang datang pasti salah satu di antara Bang Haidar dan Ghifari.

"Assalamualaikum." salamnya.

Betulkan? Aku sangat mengenal suaranya ini pasti Ghifari. Aku pun mencoba mengatur nafasku agar lebih teratur. Aku sudah memutuskan untuk bersikap biasa saja seperti yang diperintahkan oleh Bang Haidar.

"Waalaikumsalam." jawabku lalu membuka pintu.

Dan di hadapanku kini sudah ada Ghifari dengan wajah yang tampan seperti biasanya. Dia tersenyum kepadaku aku balas tersenyum kepadanya.

"Lo pasti kangen sama gue." katanya.

Kalimat itu keluar begitu saja dari bibirnya.

"Ck, pede banget." kataku kepada Ghifari.

Pemanis Sendu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang