PS.2 44 - Perpisahan

82 7 1
                                    

Setelah terdiam dan merenungi isi surat itu, tiba-tiba Kakek Surya mengatakan sesuatu.

"Kami akan mencabut tuntutan kami atasmu, Nak." Kata Kakek Surya. Nenek Rina menganggukkan kepalanya menyetujuinya.

"Benar, Nak. Kami akan mencabut tuntutan kami." Kata Kakek Rina.

Aku sudah menduga kalau akan ada pernyataan seperti ini. Namun, kali ini aku semakin mantap untuk mengatakan kepada semua orang mengenai pilihanku. Meski di dalam surat itu, Bude Ulfa tidak menyalahkanku dan mengatakan kalau ini takdir namun aku tetap harus bertanggung jawab atas apa yang aku lakukan.

"Kek, Nek, aku mohon jangan cabut tuntutan itu. Aku mohon biarkan aku bertanggung jawab atas apa yang sudah aku perbuat. Dengan begitu, aku bisa merenungi kesalahanku dan bisa menyesali semua yang aku lakukan. Aku ingin tetap berada di sini, menjalani hukuman. Aku harap semuanya bisa mengerti atas keputusanku, karena meski aku bebas sekarang, aku akan dihantui rasa bersalah yang besar. Jadi, aku mohon, Kek, Nek. Jangan cabut tuntutan itu. Dan biarkan aku menjalani hukumanku." Kataku.

"Tapi, Nak. Lima Belas tahun bukan waktu yang sebentar." Kata Kakekku.

Aku tersenyum.

"Tidak, Kakek. Sebetulnya itu saja belum cukup untuk menghilangkan rasa kecewa dan kehilangan dari seorang ibu." Kataku sambil menoleh ke arah Nenek Rina.

Nenek Rina tentulah masih merasa sedih atas semua ini.

"Nak, nenek tidak apa-apa. Sungguh." Kata Nenek Rina.

Aku tetap menggelengkan kepalaku, "Aku mohon, Nek." Kataku memohon.

Aku menatap Kakek Labib, meminta bantuan.

"Kamu bersungguh-sungguh, Nak?" Tanya Kakek Labib.

"Aku bersungguh-sungguh, Kakek. Tolong bantu aku untuk menjelaskan kepada semuanya, Kek. Aku hanya ingin bertanggung jawab." Kataku berharap banyak.

Kakek Labib menganggukkan kepala beliau.

"Ara sudah memutuskan, kami juga sudah bicara sebelumnya di dalam. Saya harap kita semua bisa menghargai keputusan Ara." Kata Kakek Labib.

"Nak, kalau kami mengabulkan permintaanmu, kamu tetap mau dijenguk kan?" Tanya Kakek Surya.

Aku menganggukkan kepalaku, "Iya, mau, Kek. Semua boleh menjengukku kecuali Ghifari." Kataku.

"Astaghfirullah, Ra. Kok gitu?" Tanya Ghifari yang terkejut.

"Ra, lo marah gue ajakin nikah?" Tanya Ghifari.

Aku terkejut setengah mati mendengar pertanyaan Ghifari. Aku tidak menyangka kalau dia akan mengatakan hal itu di depan semua orang.

Astaga. Mau dikemanakan wajahku ini, Ghifari?

"Lo ngajakin ade gue nikah?" Tanya Bang Haidar yang aku yakin mewakili pertanyaan yang ada di benak semua orang.

Ghifari tergagap sebentar, seperti baru menyadari sesuatu. Pipiku sudah merah begitu saja. Rasanya aku ingin mencubitnya saat ini juga.

"Lo gila ya? Ade gue masih jadi tahanan lo ajakin nikah? Ngelamar di penjara pula. Gak modal lo!" Kata Bang Haidar.

Ghifari menghela napas, "Iya, Ghifari emang ngajak Ara nikah." Katanya.

Kemudian dia menoleh ke arah ibu dan ayahku.

"Maaf kalau waktunya kurang pas, Papa maksudku Om Faiz dan Tante Nindy. Tapi Ghifari benar-benar cinta sama Ara. Ghifari takut Ara menikah dengan orang lain." Kata Ghifari.

Laki-laki itu memang aneh. Lihatlah, bagaimana dia secara tidak langsung melamarku di hadapan semua orang.

"Kamu masih bisa memanggil suamiku, Papa, Nak. Beliau juga papamu." Kata Ibuku lembut.

Pemanis Sendu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang