PS.2 29 - Lelaki Tak Dikenal

60 8 0
                                    

“Main yuk? Mau gak?” tanya Ghifari.

Aku berpikir sebentar, aku tentu tidak melupakan janjiku kepada Bang Haidar yang tidak akan mengatakan kepada Ghifari kalau aku sudah mengetahui semuanya dan aku sudah tahu kalau Bang Haidar adalah kakak kandungku.

“Nanti aja deh ya malem gue mager.” jawabku.

“Tamunya disuruh masuk, Nak!” seru Bi Shanti.

Aku pun langsung menoleh mencari keberadaan Bi Shanti. “Iya, Bi …” sahutku.

“Udah denger kan tamu yang terhormat? Jadi, silakan masuk.” kataku sambil mengerucutkan bibirku, meminggirkan tubuhku agar Ghifari bisa masuk ke dalam.

Ghifari terkekeh, aku buru-buru mengalihkan pandanganku ke arah lain karena takut kembali jatuh pada pesonanya. Ah, akhirnya aku mengakui kalau aku mudah terjerat pada pesonanya. Namun, aku kini sadar kalau hal tersebut tidak boleh aku lakukan.

Ghifari mengacak rambutku dan langsung berjalan masuk dan duduk di ruang tamu.

Setelahnya, kami makan bersama seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Ghifari pun tidak pernah mengungkit masalah aku yang menyuruhnya menjauh selama seminggu kemarin. Aku cukup bersyukur karena aku tidak perlu menyiapkan jawaban.

“Tante, Bibi, boleh kan kalau saya ajak Ara untuk keluar?” tanya Ghifari kepada ibu dan Bi Shanti.

Aku memutar bola mata karena sepertinya Ghifari masih tetap ingin aku ikut bersamanya, padahal aku benar-benar sedang tidak ingin pergi.

Mama tersenyum dan Bi Shanti tersnyum menggoda ke arahku, aku hanya bisa cemberut.

“Boleh, Nak. Tapi pulangnya jangan malem-malem ya?” kata Bi Shanti.

Sekarang masih pagi, seharusnya Bi Shanti meminta kepada Ghifari agar dia tidak membawaku pulang lewat dari tengah hari (baca: jam dua belas siang) bukan malam. Namun, aku tidak bisa melayangkan protes saat ini.

“Siap, Bi. Terima kasih ya, Bi, Tante …” kata Ghifari.

“Iya, Nak, sama-sama. Ara, kamu ndak mau bersiap-siap?” tanya Bi Shanti.

“Nanti, Bi, beresin ini dulu.” jawabku.

“Nggak usah, biar bibi aja. Kamu mending siap-siap.” kata Bi Shanti.

Aku pun mengangguk dan langsung masuk ke dalam kamar, untunglah aku sudah mandi jadi aku hanya perlu berganti pakaian saja.

Setelah selesai aku dan Ghifari pun berpamitan kepada Mama dan Bi Shanti lalu kami masuk ke dalam mobilnya. Di dalam mobil, aku memutuskan untuk diam dan terus memandangi jendela. Aku benar-benar tidak berniat untuk membuka percakapan sebab di kepalaku sudah terlalu banyak yang dipikirkan.

“Lo marah ya sama gue?” tanya Ghifari.

“Hmm …” kataku menyahuti seadanya.

“Gue beliin es krim deh.” kata Ghifari.

Aku hanya bisa menggelengkan kepala, aku bukan anak kecil yang disogok makanan langsung menurut, aku sudah dewasa meski tawaran es krim itu terasa sangat menggoda.

“Ra … jangan kayak gini dong, gue kan jadi bingung.” kata Ghifari yang sesekali melirikku.

“Kalo bingung pegangan.” jawabku seadanya.

Ghifari langsung terkekeh dengan apa yang aku katakan, aku benar-benar tidak tahu mengapa dia bisa terus terkekeh.

Lalu Ghifari mengajakku ke sebuah tempat yang sepi, namun tempat itu bagus aku akui. Dia mengajakku di sebuah taman di samping danau, aku baru tahu kalau di pinggiran Jakarta masih ada tempat sebagus ini.

Pemanis Sendu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang