PS2.10 - Aaron

3.6K 333 36
                                    

Malam ini aku tidur dengan ibuku. Aku kembali merenung. Mataku tak bisa dipejamkan. Padahal tubuhku rasanya sangat lelah. Fikiran ku bercabang. Memikirkan ibu, memikirkan Gifari, memikirkan Bang Haidar dan memikirkan diriku sendiri.

Aku yang tak bisa tidur. Memutuskan beranjak dari ranjang. Ibuku sudah sembuh, ternyata Bi Santi benar-benar bisa merawat ibuku dengan baik. Aku mengecup kening ibuku singkat. Lalu memilih membuka lemari pakaianku. Jujur, melihat keluarga Gifari yang harmonis, diam-diam aku merasakan iri yang mendalam. Rasanya aku ingin berteriak. Di mana keluargaku?

Dalam lemari, aku menemukan sebuah kotak yang susah dijangkau. Aku yang penasaran lantas langsung melakukan berbagai cara untuk mengambilnya.

Di dalamnya ada sebuah gelang berwarna perak. Gelang yang cukup indah menurutku. Aku tak tau siapa pemilik gelang ini, namun bisa kupastikan ini milik ibu atau bibi Linda. Dibawah gelang, aku melihat ada surat. Aku melirik ibu, ibu masih terlelap di tempatnya. Akupun mengambil kotak itu, lalu keluar kamar.

Aaron.

Siapa itu Aaron? Surat ini ditulis oleh Aaron. Apa dia ayahku? Apakah ayahku bernama Aaron?

Aku ragu. Apakah hari ini adalah hari yang tepat untuk memulai pencarian keluarga ibuku? Namun aku takut sebuah kebenaran akan menyakitiku. Biarlah kusimpan dulu. Aku akan menyimpannya di kamarku. Aku yakin surat itu ada kaitannya dengan keluargaku. Aaron. Apa benar dia ayahku?

***

"Ya ampun, perawan jam segini belom bangun."

Suara seseorang membangunkanku. Aku membuka mata. Aku mendapati Gifari berdiri di sampingku. Aku yang terkejut, langsung duduk. Lalu mengamati tubuhku sendiri. Tak ada yang aneh. Aku mendesah lega.

"Ngapain si lo pagi-pagi udah di rumah gue?" Kataku sambil mengusap kelopak mataku.

"Mau bangunin calon istri gue. Emang gak boleh?"

Aku memutar bola mata bosan. Lalu aku melemparkan bantal padanya, dia terkikik.

"Lo gak bosen apa ke rumah gue mulu."

"Enggaklaah. Udah sana mandi, tuh ada ilernya. Jorok."

"Enak ajaa. Gue gak pernah ileran ya. Gue gak mau mandi, biarin aja nemenin lu dalam keadaan begini, biar lo ilfeel."

"Udah ayo mandiiii!" Katanya sambil menarikku dan mendorongku masuk ke kamar mandi, lalu dia menutupnya dari luar.

"Sial." Kataku.

Akupun mandi, dan memakai kaos dan celana panjang, persis pakaian rumahan. Saat akan keluar rumah, aku mendapati Bi Santi tengah menangis di dapur. Akupun menghampirinya.

"Bi Santi, kenapa?" Tanyaku.

Mendapatiku mendekat beliau langsung memelukku. Aku yang bingung hanya bisa mengusap punggungku.

"Anakku.." katanya. Lalu menciumi rambutku.

"Tunggu, Bi. Maksud Bibi apa?" Tanyaku bingung.

Air wajah Bi Santi berubah. Beliau terdiam. Lalu mengatur nafasnya.

"Bibi tak punya anak, boleh kah bibi memanggilmu anakku? Bolehkah bibi menganggapmu sebagai anak bibi?" Tanya Bi Santi.

Aku merasa kasihan pada Bi Santi. Beliau pasti hidup sendiri sama seperti aku dan ibu. Rasanya tak adil bila aku menolak permintaannya. Akupun mengangguk. Lalu Bi Santi kembali memelukku.

"Bi, Ara mau ke depan dulu ya, mau temuin Gifari." Kataku.

"Iya sayang. Dia anak baik. Bibi suka melihat kalian bersama." Kata Bi Santi. Seketika wajahku merah. Bibi terkikik.

"Ah, bibii.." kataku langsung pergi menemui Gifari. Kejutan apa lagi ini, Tuhan?

***

Di sana Gifari sedang asyik mengobrol dengan ibuku. Bukan mengobrol. Lebih tepatnya Gifari hanya berbicara sendiri. Sebab ibuku memang hanya bisa diam, dan sesekali tersenyum di kursi rodanya. Betul kata Bi Santi, meski menyebalkan, Gifari adalah anak yang baik.

Mata Gifari kini menangkap kedatanganku. Aku langsung sadar lalu berjalan menghampiri Gifari dan ibuku. Kata Bi Santi, ibuku sudah makan.

"Liat, Tante. Masa anak gadis jam segini baru bangun." Kata Gifari.

"Ih nyebelin banget si." Kataku geram.

Gifari pun terkikik. Dia selalu bahagia melihatku marah.

"Ganti baju gih. Aku mau ngajak kamu pergi." Katanya.

Akupun menuruti permintaannya tanpa banyak protes. Di kepalaku jujur aku memikirkan gelang dan surat itu, juga Bi Santi.

***

Sepanjang perjalanan aku diam, begitu juga dengan Gifari. Aku menangkap hal yang tak biasa darinya. Kecepatan mobil yang kami kendarai semakin kencang. Ini membuatku takut. Ada apa dengan Gifari. Sejak masuk mobil ini dia tidak seperti Gifari yang aku kenal.

"Gifari! Ada apaa?" Kataku.

Mendengar pertanyaanku. Ia justru memacu mobilnya semakin kencang.

Aku mulai ketakutan, dan diam-diam aku terisak. Aku menangis. Aku tak suka dia yang seperti ini. Hal ini menakutkan. Melihatku terisak perlahan dia menepikan mobilnya cepat.

Aku menutup wajahku yang sudah berlinangan air mata.

"Kamu jahat." Kataku. Hanya itu yang bisa ku keluarkan saat aku terisak.

"Maaf Ra, maaf." Katanya.

Dia membuka sabuk pengamannya. Lalu mencondongkan tubuhnya kepadaku. Dia membuka tanganku. Agar bisa melihat wajahku. Ntah mengapa aku tambah terisak. Aku mencoba mencuri pandang kematanya. Namun jika tak salah air mata juga menetes dipipinya. Aku pasti salah melihat. Mataku semakin buram. Aku masih ketakutan. Kedua tanganku dicekal. Lalu dia membawa tubuhku ke pelukannya.

"Maaf, maafkan aku." Katanya.

Aku makin terisak. Aku merasakan punggungku basah. Apa dia benar-benar menangis? Mengapa dia menangis?

"Gif.." kataku. Mencoba melepaskan pelukannya.

"Lima menit Ra. Lima menit." Katanya. Suaranya bergetar.

Apa dia sedang menghadapi sebuah masalah besar? Masalah apa? Baru kali ini aku melihat seorang laki-laki menangis. Apalagi seorang Gifari, seorang laki-laki yang menyebalkan. Biarlah. Biarlah aku membantu meringankan bebannya. Toh dia sering membantuku. Aku pun ingin membantunya. Diam-diam aku balas memeluknya.

***

"Kamu kenapa?" Tanyaku.

"Aku tak mau kehilanganmu. Sungguh. Hanya itu." Katanya.

DEG!

Aku diam. Dia diam. Tak lama kemudian di kursi kemudinya, dia terlelap. Aku hanya bisa memandang wajahnya. Ada apa sebetulnya dengannya?

Aku tak begitu memperhatikan wajahnya saat dirumahku tadi. Kini kuamati dengan seksama, semalam dia pasti tidak tidur, itu terlihat dari kantong matanya. aku mengambil jaket milikku. Lalu menyelimutinya dengan jaket itu.

Kepalaku kini penuh dengan Gifari. Apa yang terjadi padanya hingga dia hampir membuang nyawanya dengan sia-sia. Walau aku tak tau masalah apa yang tengah di hadapinya. Tapi aku tau, masalah itu pastilah masalah besar.

Kau telah membantuku, dengan membuat ibuku tersenyum, Gif. Aku tak akan lupa. Aku akan membantumu. Meski nyawa taruhanku. Aku akan selalu disampingmu jika memang itu yang kau pinta. - batinku.

Aku kembali memikirkan gelang dan surat itu. Apakah ayahku benar bernama Aaron? Kalau memang benar dia ayahku. Dimana dia sekarang? Mengapa tega membuang ibuku dan aku? Mengapa kami tak pernah bertemu? Siapa pula kakek dan nenekku? Kemana perginya semua keluarga-keluarga ibuku yang lain? Mengapa ibuku dibiarkan seperti itu. Mengapa ibuku menjadi seperti itu? Apa sebetulnya yang terjadi hingga tiap malam selama aku hidup selalu kudapati air mata ibuku menetes disela tidurnya?

***

Ara mulai ketemu titik cerah nih. Hohoho. Kenapa Gifari jadi kesetanan begitu? Gakpapa ya aku update lagi wkwkwk

Pemanis Sendu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang