PS.2 21 - Senyum Palsu

105 20 0
                                    

Setelah selesai membaca isi surat itu perasaanku campur aduk. Aku tidak bisa menjelaskan lagi dengan detail apa yang aku rasakan. Rasanya aku ingin berteriak. Surat itu. Surat itu benar adalah surat milik Om Aaron yang dikirimkan kepada ibuku.

Di dalamnya menyebut nama Gus Faiz. Aku yakin beliau adalah ayahku yang pernah Bi Shanti katakan kepada diriku.

Mengapa surat itu ada pada Ghifari? Kepalaku benar-benar pusing dan ingin pecah rasanya.

Namun, selanjutnya aku harus apa? Apa yang harus aku lakukan dengan fakta mengerikan ini?

Aku pun langsung memasukkan lipatan surat tersebut ke dalam dasboard mobil lagi setelah tak sengaja mataku menangkap bayangan Ghifari yang sudah keluar dari toko roti tersebut.

Aku tidak mau dia tahu kalau aku telah mendapatkan bahkan membaca surat tersebut. Aku harus bersiap-siap. Menyiapkan diri untuk sesuatu yang tidak pernah ingin kusiapkan.

Tak lama kemudian, Ghifari masuk ke dalam mobil.

Seketika tubuhku membeku. Padahal, aku sudah mencoba untuk bersiap-siap menghadapi Ghifari. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku ingin marah dan mengatakan semua yang aku pikirkan kepada Ghifari namun di sisi lain aku merasa aku tidak boleh mengatakannya karena ini bukan waktunya.

Aku mulai berpikir kalau kedatangan Ghifari ke dalam kehidupanku memiliki maksud. Dan aku belum tahu apa maksud dari kedatangannya tersebut.

Bila benar dirinya datang dengan maksud tertentu, biarlah aku tahu apa yang sedang dia rencanakan, toh aku sudah sering merasa sakit, bila dia mematahkan semua pengharapanku aku rasa aku masih bisa mengatasinya.

Namun, sisi lain diriku mengatakan kemungkinan lain. Ghifari bisa saja hanya ingin membantuku secara diam-diam.

Kepalaku rasanya ingin pecah saat ini. Aku bahkan harus memijit pelipisku sendiri.

"Lama ya?" tanyanya sambil terkekeh.

Aku mengambil nafas, mencoba menenangkan diri, memang apa lagi yang bisa kulakukan selain ini? Aku mencoba tersenyum kepada dirinya. Meski kepalaku dipenuhi dengan pertanyaan, 'Apa senyumnya juga suatu kepalsuan?'.

Dia memandangiku, aku mengarahkan pandanganku ke arah lain.

"Bete ya nungguin gue kelamaan?" tanya Ghifari.

"Iya." jawabku sekenanya.

Ghifari hanya bisa terkekeh mendengar apa yang aku katakan. Kali ini aku tidak mau mengambil pusing. Jadi, aku memilih untuk diam.

"Kita berangkat ya?" katanya.

Tanpa menunggu jawaban dariku, Ghifari langsung melajukan mobilnya keluar dari parkir dan langsung menuju rumahnya.

Hatiku rasanya sakit sekali. Aku hanya bisa memandang ke kiri menatap jalanan yang kita lalui. Hampa, kosong, dna takut. Inilah tidak bentuk rasa yang paling aku tidak sukai namun aku merasakannya.

Apa Ghifari sengaja membawaku ke dalam keluarganya? Apakah Alasan Ghifari adalah ingin mencari keberadaan keluargaku? Apa dia mengenalnya?

Biarlah, aku hanya berdoa agar semuanya hanya kebetulan dan tidak ada unsur kesengajaan apapun. Apakah harapanku ini tidak terlalu muluk?

Namun, untuk apa dia memiliki sepotong surat itu?

"Ra?" panggil Ghifari.

Aku menoleh kepada dirinya.

"Kok lo diem aja? Ada sesuatu yang lo pikirin?" tanya Ghifari.

Rautnya begitu serius. Lagi-lagi aku harus menghembuskan nafas agar bisa menetralkan perasaan hatiku yang campur aduk.

Aku bingung. Aku benar-benar bingung dengan semuanya dan dengan dengan situasi ini.

"Ghif, apa kita pernah ketemu sebelumnya?" tanyaku.

Hanya ini yang bisa aku tanyakan kepada dirinya. Aku tidak berharap dia akan jujur dan aku rasanya mewajarkan bila dia ingin menjawabnya dengan kebohongan.

"Maksudnya?" tanya Ghifari yang seakan tidak mengerti dengan apa yang tengah aku tanyakan.

"Iya, apa kita pernah bertemu sebelumnya? Maksud gue sebelum di jembatan waktu itu." kataku mencoba menjelaskan.

"Oh, belum. Belum pernah. Itu pertama kalinya kita ketemu, Ra. Kenapa emang?" tanya Ghifari.

"Enggakpapa." kataku.

"Nggakpapanya cewek pasti ada apa-apanya nih." jawab Ghifari.

Aku hanya bisa mengangkat bahu karena malas menangapi Ghifari. Lagi pula aku harus menangapinya dengan apa? Dengan jujur? Tentu tidak mungkin. Dengan mengelak? Tentu aku tidak mau menambah dosa. Dosaku saja sudah banyak.

"Ra.. kenapa?" tanya Ghifari.

Ghifari sepertinya tidak akan membiarkan aku lepas. Sepertinya dia sangat ingin tahu. Aku harus menyiapkan jawaban yang cukup masuk akal untuk menghentikan dirinya terus memanggil namaku.

Jujur hanya dengan memanggil namaku saja, sesuatu di dalam sana begitu ramai. Dan perasaan hangat mulai menjalar, namun aku tidak boleh percaya begitu dalam kepada dirinya. Aku harus menaruh waspada sebab manusia seperti Ghifari sepertinya tidak mudah untuk ditebak.

"Ya lucu aja gitu. Kayak settingan." kataku separuh jujur.

Ghifari terdiam sebentar raut wajahnya menjadi serius, "Settingan gimana maksud lo?" tanya Ghifari.

Aku harus menghentikan situasi seperti ini. Aku kembali memutar otak.

"Ya settingan. Lo gak pernah nonton drama korea apa ya? Itu lho, Ghif. Kan banyak tuh ada yang tiba-tiba kawin kontrak kayak Full House gitu-gitu. Bedanya kita ketemu langsung jadi calon istri pura-pura. Kan kayak sinetron sama drama korea banget gak sih?" kataku sambil tertawa. Tentunya dengan akting yang aku rasa sempurna.

Ghifari bisa membaca raut wajahku. Aku hanya perlu berpura-pura menjadi Ara yang biasanya.

"Ck, kebanyakan nonton drakor lo." katanya sambil mencibirku.

"Biarin dari pada kayak lo." kataku mencoba bersikap normal. Senormal-normalnya.

"Emang gue kenapa?" tanyanya sambil menoleh ke arahku.

Aku menatapnya dari samping. Dia seperti masih menunggu aku berbicara. Aku tersenyum miring.

"Nolep. Hidupnya gangguin hidup gue terus." kataku dari hati.

"Kalo itu kayaknya kebutuhan sih. Jadi, gak bisa lepas." katanya. Syukurlah. Ghifari menganggap aku bercanda. Meski rasanya ada sesuatu yang tidak terima di dalam sana.

Aku memosisikan tubuhku ke depan lalu meliriknya sekilas.

"Kayak mainan gitu ya hidup gue kalo dipikir-pikir?" tanyaku sambil tertawa miris.

Ghifari diam saja tidak mau menangapi. Ntah karena tidak mau atau karena karena dia harus berkonsentrasi menyetir karena kami berada di satu jalan kecil di mana dari depan ada mobil yang tengah melaju ke arah kami, jadi Ghifari harus ekstra konsentrasi mencari tempat yang lebar agar mobil tersebut bisa lewat dan tidak menimbulkan kelecetan baik di mobilnya maupun di mobil yang ada di depan kami.

Pemanis Sendu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang