PS.2 41 - Pernyataan

48 5 0
                                    

Ghifari menatapku. Aku langsung mengalihkan pandanganku ke arah lain. Bagaimana pun aku perempuan normal yang memang mencintainya. Ah, mengapa aku membicarakan soal cinta di saat-saat seperti ini?

"Seharusnya gue dan nyokap gue yang ada di penjara." Kata Ghifari.

Aku menatap Ghifari. Aku bisa melihat dengan jelas mengenai bagaimana dia yang terlihat sedih dan menyesal. Aku ingin mengusap pundaknya namun aku tidak bisa melakukan itu.

"Nyokap gue udah bantuin Bude Ulfa selama ini. Beliau juga yang misahin lo sama keluarga lo. Meski nyokap gue selalu nangis setiap malam, tapi gue tau kalau beliau udah pernah berbuat jahat." Kata Ghifari. "Gue pengen gantiin Lo, Ra. Gue pengen gantiin lo ada di sini. Tapi gue nggak tau caranya." Sambungnya.

Aku menggelengkan kepalaku.

"Gue tau lo sama nyokap lo itu orang baik sebenernya. Mungkin ya, nyokap lo emang pernah jahat banget sih. Dan gue juga udah pernah benci sama beliau. Karena gimana pun dia mengkhianati nyokap gue dan bener, bikin gue sama nyokap gue jauh dari keluarga." Kataku.

Ghifari menunduk, "Maafin gue dan nyokap gue ya, Ra. Gue bener-bener ..."

Aku langsung menutup mulut Ghifari hingga membuat Ghifari diam, lalu aku menarik tanganku.

"Gue tau kalian gak sejahat itu. Tante Farha juga udah menyesali perbuatannya kan? Kalau beliau nggak nyesel, beliau nggak akan bantuin mama dan gue buat keluar. Dan lo nggak salah apa-apa, Ghif." Kataku.

"Apa lo mau maafin kita?" Tanya Ghifari.

"Lo nggak salah apapun Ghif. Gue rasa lo gak perlu minta maaf. Dan kalau Tante ... Gimana sama mama?" Tanyaku ragu

"Mamamu berhati malaikat, Nak." Kata seseorang. "Mamamu juga sudah memaafkan semua kesalahan yang dilakukan oleh ibunya Ghifari. Bahkan, semua orang yang menyakitinya."

Aku menoleh dan mendapati kakekku yang tak jauh dari tempatku, "Kakek!" Kataku yang langsung berlari begitu saja kepada Kakek namun seketika ketika aku ingin memeluk kakekku, aku teringat siapa aku, aku hanyalah seorang pendosa. "Maaf, Kakek." Kataku.

Namun, di luar dugaanku, kakek justru memelukku. Aku tentu sangat terharu dan tangisanku lepas begitu saja.

"Cucu Kakek, apa kabar, Nak?" Tanya Kakek.

Aku menangis tersedu-sedu dalam pelukan beliau. Beliau ternyata masih mau memanggilku sebagai cucunya. "Maafin Ara, Kakek. Maafin Ara." Kataku.

"Iya, Nak. Maafkan kakek juga yang tidak bisa mencegah ini semua terjadi." Kata Kakek, suaranya bergetar.

Aku mendongak dan mendapati kakek yang sudah berkaca-kaca, aku pun langsung melepaskan pelukanku. "Kakek, kenapa kakek menangis?" Tanyaku. Apa mungkin melihat keadaanku sehingga beliau tidak tega?

Kini air mata kakekku jatuh begitu saja. Lalu aku dan Ghifari meminta kakek untuk duduk di bangku di bawah pohon diantara aku dan Ghifari.

"Kakek merasa sangat malu kepada kalian. Sebagai laki-laki dewasa, kakek tidak bisa menjaga keluarga kakek." Kata Kakek. "Kamu pun menjadi seperti ini karena kakek." sambung beliau.

"Tidak, Kek. Ghifari tau kalau selama ini Kakek yang selalu mencoba meluruskan semuanya, Kakek selalu meminta aku dan Bang Ghifari mencari keberadaan Tante Nindy dan Ara. Kakek sudah melakukan banyak hal." Kata Ghifari.

Aku baru tahu kalau ternyata Kakek masih mencoba mencariku. Mungkin ini sudah jalannya. Meski keluarga dari ayahku selalu mencari aku dan ibuku, namun mereka tidak bisa menemukan kami.

Dan... Melalui Ghifarilah kami bertemu kembali.

"Kalian anak-anak hebat. Kakek bangga kepada kalian." Kata Kakek yang memelukku dan Ghifari.

Pemanis Sendu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang