PS.2 42 - Lelaki yang 'Agak Lain'

55 6 0
                                    

Jantungku berdegup dengan sangat kencang. Tapi bagaimana mungkin dia mengajak menikah dengan cara seperti ini? Kupu-kupu mulai beterbangan. Namun aku ingin memastikan sesuatu.

"Apa?" Tanyaku untuk memastikan kalau aku tidak salah dengar.

"Nikah sama gue, Ra." Kata Ghifari.

Aku langsung menoyor kepalanya.

"Astaga, Ra. Kok gue ditoyor sih." Kata Ghifari yang mencebik sebal.

"Ya elo lagian, ngapain ngomong begitu? Ngajak nikah udah kayak ngajak beli pisang goreng." Kataku yang tentu kesal dengannya. Laki-laki di hadapanku ini memang 'agak lain'. Suka tidak tau situasi.

Ghifari terkekeh begitu saja. Ntah mengapa aku jadi kesal melihatnya. Jadi, dia main-main saja? Hanya mempermainkan aku? Ah, aku kira dia benar-benar ingin mengajakku menikah.

"Nyebelin banget sih lo." Kataku kesal.

Aku hendak bangkit dari tempat dudukku dan dia langsung menarik tanganku agar aku kembali duduk. Mau tak mau aku kembali duduk meski bete sekali rasanya.

"Gitu aja ngambek. Gue serius, Ra. Gue serius sama lo." Kata Ghifari.

Kupu-kupu kembali beterbangan diperutku, jantungku terus berdegup dengan sangat cepat.

Aku menatap manik matanya. Aku memang menemukan sebuah keseriusan di sana namun, benarkan dia serius? Kalau pun dia serius, aku tentu tidak bisa menerimanya. Bagaimana pun, aku ini pembunuh. Wanita tidak baik untuknya.

"Gue nggak bisa, Ghif." Kataku.

"Kenapa, Ra? Gue cinta sama lo. Dan gue juga 100% yakin kalau lo juga cinta sama gue." Kata Ghifari.

"Pede banget sih." Kataku.

Ghifari tersenyum, "Hati sama insting gue nggak akan salah. Gue jatuh cinta sama lo, sejak pertama kali kita ketemu. Waktu lo nimpuk gue pake alas kaki lo."

Jantungku benar-benar sudah tidak aman. Aku tentu masih mengingat momen-momen itu. Momen di saat aku membenci Ghifari karena dia adalah pria menyebalkan.

"Ra, nikah sama gue ya? Gue cinta sama lo, Ra. Gue sayang sama lo. Gue nggak mau yang lain." Kata Ghifari memohon.

Meski aku juga merasakan hal yang sama. Aku tentu tidak akan membuatnya menikah denganku. Dia masih memiliki masa depan yang sangat panjang, tidak seperti aku.

"Ghif, gue cuma pembunuh. Gue nggak bisa nikah sama lo, apalagi gue masih di penjara. Gue gak mau orang-orang ngomongin lo di belakang. Cari cewek lain ya? Gue yakin di luar sana masih banyak banget cewek yang mau nikah sama cowok sempurna kayak lo, walaupun lo nyebelin." Kataku yang mencoba mencairkan suasana di akhir.

Aku memang sedih ketika mengatakannya. Bagaimana tidak sedih? Selama hidup, meski sudah sering bergonta-ganti pacar, aku baru sekali mengalami jatuh cinta, dengannya. Dengan seorang Ghifari.

"Gue nggak masalah mau dipandang gimana pun sama orang, Ra. Lagian yang mau jalanin itu kita. Kita nggak perlu repot-repot pikiran orang. Ra, gue tau kalau gue ini orangnya absurd, tapi Ra, gue serius. Nikah sama gue ya, Ra?" Kata Ghifari.

"Ghif, gue masih di penjara. Masih tahanan." Kataku.

"Yaudah gue bakalan tungguin lo sampe lo keluar dari sini." Kata Ghifari.

"Ghif, jangan gila deh. Masih 15tahun lagi." Kataku.

"Ya, gak papa. Gue akan tetap nungguin lo." Kata Ghifari.

Aku menghela napas, laki-laki ini benar-benar keras kepala. "Lo liat gue deh. Gue gak sempurna, wajah gue gak cantik, sikap gue gak bagus, masa lalu gue kelam, dan gue gak punya sesuatu yang bisa dibanggain."

"Gue cinta sama lo tanpa alasan. Bukan karena fisik atau apapun. Gue mencintai lo karena lo Ara. Satu-satunya cewek yang bisa bikin gue jatuh cinta." Kata Ghifari.

Belum genap aku menjawab, Kakekku datang dan semua tahanan sudah mulai keluar dari dalam aula. Kemudian, kami sama-sama menuju ke ruang pertemuan. Jantungku berdegup dengan sangat kencang. Kakek membuka pintu, lalu aku di belakangnya menyusul dan Ghifari berada di belakangku.

"Araaa!" Seru seseorang yang sangat aku rindukan.

Aku merindukan beliau, sangat merindukan beliau. Beliau adalah ibuku. Mama Nindy. Seorang manusia yang berhati malaikat.

"Mama ..." Panggilku.

Ibuku langsung berlari memelukku dan tangisan kami pecah di sana. Beliau menciumi wajahku, meski terasa perih karena aku sedang lebam, namun aku merasa senang dengan apa yang ibuku lakukan.

"Ya Allah, Nak. Kamu kenapa? Ini kenapa?" Tanya ibuku yang akhirnya menyadari kalau wajahku babak belur.

Aku tersenyum. "Jatuh, Ma. Mama apa kabar?" Tanyaku mencoba menahan rasa sesak di dada. Ingin rasanya aku mengatakan kepada beliau apa yang aku lalui di dalam sana. Hari-hari yang berat. Namun, aku tidak bisa melakukannya, aku tak mau beliau mengkhawatirkanku.

"Baik, Sayang. Maafkan mama Sayang. Maafkan mama. Karena mama kamu jadi seperti ini." Kata Ibuku sambil menangis.

Aku mengambil tangan mama dan langsung mencium tangan beliau, "Mama gak salah apapun. Ara nggakpapa kok. Ara yang salah. Maafin Ara, Ma. Maafin Ara karena Ara udah memisahkan mama dengan Kakaknya Mama." Kataku.

Air mataku terjatuh begitu saja. Kali ini melihat tangisan di wajah ibuku, aku merasa sangat bersalah. Apa yang dikatakan oleh Kakek ternyata benar. Sebetulnya aku sangat menyesal dan merasa sangat bersalah. Bahkan, kalau boleh memutar waktu, rasanya aku tidak ingin melakukan itu. Aku bisa mendapatkan kebahagiaan keluargaku dengan cara lain.

"Tidak, Sayang. Tidak. ... Itu semua karena takdir. Bukan kamu yang membunuh Budemu, tapi memang sudah jalannya." Kata Ibuku.

"Maafkan aku, Ma. Aku sudah membuat mama dicap sebagai ibu dari seorang pembunuh." Kataku yang langsung memeluk kaki ibuku.

Ibuku langsung memintaku untuk berdiri, "Tidak sayang. Kamu anak mama. Kamu bukan pembunuh. Kamu hanya mencoba membela diri. Bukan benar-benar berniat membunuh." Kata ibuku.

Ayahku menghampiriku. Sejujurnya aku sangat ingin memeluk ayahku. Ayah kandungku namun aku tak tau apakah ayahku masih menganggapku anak atau tidak setelah aku tidak pernah sopan kepada beliau.

"Ara, papa minta maaf, Nak. Ini semua karena papa. Papa yang harusnya bertanggung jawab atas ini semua. Maafkan papa, Nak." Kata ayahku.

Ayahku terlihat menangis dan menunduk, menyesali apa yang telah beliau lakukan. Aku langsung memeluk beliau, akulah yang salah. Ayahku selama ini juga frustasi mencari keberadaanku dan ibuku. Aku tidak berhak membencinya, "Jangan minta maaf kepada Ara, Papa. Aralah yang salah. Maafin Ara ya, Pa. Karena Ara udah nggak sopan sama Papa." Kataku.

"Iya, Nak. Papa memaafkanmu. Maafkan papa juga ya, Nak. Papa belum bisa jadi ayah yang baik untuk kamu." Kata ayahku.

Aku menganggukkan kepalaku dalam pelukan beliau. Akhirnya aku merasakan pelukan seorang ayah. Beliau adalah ayahku. Benar-benar Ayahku.

Pemanis Sendu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang