Bagian 1: Kehidupan Seorang Peternak

142 56 9
                                    

Lift berhenti di lantai 71. Aku lekas turun bersama beberapa orang, termasuk juga gadis yang aku awasi. Namanya Diah, dia adalah temanku. Kami berjalan ke arah timur bangunan ini. Akhirnya, ada waktu untuk tubuhku menjadi mengendur. Mengawasi Diah dalam lift bukan hal yang mudah. Tingginya yang tidak lebih dari pundakku membuat badannya hampir tenggelam di antara gerombolan manusia dalam lift. Tanganku yang menenteng dua box telur juga membuaku tidak bisa sepenuhnya memperhatikan Diah.

Lift tiba di lantai 71. Aku dan Diah turun bersama dengan gerombolan manusia yang tinggal di lantai ini. Sinar mentari berwarna jingga menembus kaca pelindung Flat sebelum menggelitik kulit kami. Kami menapaki lantai yang sekaligus menjadi atap untuk fasilitas di lantai sebelumnya. Aku berjalan sambil melihat rambut Diah yang memang agak kusut dari belakang. Sesekali aku juga megalihkan pandangan ke jendela dan pintu rumah yang berjejer rapi. Tak lama, kami sampai di rumah Diah.

"Kerja bagus. Besok temui saya di tempat yang sudah disepakati," ucap Diah.

"Baik, Yang Mulia," balasku dengan sedikit menunduk.

Diah yang mengenakan baju berwarna hijau hilang ditelan pintu, mirip seperti daun pisang yang masuk dalam lubang wastafel. Aku melanjutkan perjalanan pulang sendirian. Selepas beberapa meter berjalan, aku sampai di rumah. Dengan langkah gontai aku masuk rumah. Kulihat Ibu yang sedang memasak di dapur. Rambutnya yang disanggul itu mirip adonan mie. Sejurus kemudian, dua mangkuk mie sudah tersaji di atas meja makan.

"Gus, makan malam sudah siap. Nih, mumpung masih panas," ucap Ibu sambil menyodorkan semangkuk mie.

"Makasih, Bu," kataku sambil menerima semangkuk mie.

"Hari ini ada kejadian apa?" tanya Ibu sembari duduk.

"Ndak ada, cuma gosip gerak-gerik teroris aja," jawabku sebelum meniup mie yang tersangkut pada garpu.

"Habis mandi kamu langsung istirahat aja."

Aku lekas memakan makan malamku. Rasa asin garam menjadi obat rasa gelisahku sendari tadi. Selesai makan, aku langsung membersihkan diri di kamar mandi. Setelah mandi, aku menuju kamar sembari mengacak-acak rambutku agar cepat kering. Kuambil acak kaus dan celana boxer berwarna biru dalam lemari. Sesudah berpakaian, aku menghempaskan badanku di atas kasur dan tidur.

Aku bangun karena badanku yang terasa bergoyang. Kulihat Ibu yang menatapku sambil menekukkan alis. Ibu berkata kalau sekarang sudah jam tujuh lebih sepuluh menit. Sadar karena sedang berlomba dengan waktu, aku lekas bangun dan menuju kamar mandi. Lift yang akan aku naiki nanti akan tiba jam 07:31. Jika sampai ketinggalan lift, berarti aku harus menunggu satu jam sampai lift tiba lagi. Walau bisa naik di lift kedua, aku lebih memilih untuk naik lift pertama. Jarak dari lift pertama dengan lift kedua tidak jauh. Selain itu, lift kedua datang lebih lambat 15 menit dari lift pertama. Setelah mandi dan berpakaian, aku menuju meja makan.

"Nih, mie rebus," ucap Ibu sambil menyodorkan semangkuk mie.

"Terima kasih. Ibu bisa berangkat ke peternakan hari ini?" tanyaku sebelum meniup mie yang masih panas.

"Maaf, Gus. Ibu masih ada urusan untuk hari ini," jawab Ibu.

Setelah menghidangkan sarapan, Ibu kembali ke wastafel untuk mencuci peralatan yang sebelumnya dipakai untuk membuat mie. Teringat karena sedang dikejar waktu, aku bergegas menghabiskan sarapanku. Setelah sarapan, aku bersiap untuk berangkat. Tak lupa juga, kubawa box telur yang nanti akan digunakan untuk berjualan.

"Bu, aku berangkat," ucapku ke Ibu sambil berlalu.

"Hati-hati. Oh iya, tolong belikan tepung terigu waktu pulang," balas Ibu dengan setengah berteriak.

KATHAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang