Bagian 20: Memburu Sang Pemburu

64 33 5
                                    

Aku berjalan santai menuju rumah Diah. Bau harum pisang tercium ketika aku sampai di rumah Diah. Aku juga melihat sebuah gerobak yang terparkir di depan rumah Diah. Karena pintu rumah Diah yang terbuka lebar, aku tidak perlu menggunakan mikrofon untuk meminta tuan rumah membukakan pintu. Aku langsung masuk ke dalam rumah Diah. Kulihat Bu Sri dan Diah yang sedang mengemasi sesuatu di meja ruang tamu.

"Pagi semua," salamku.

"Pagi, Gus," balas Bu Sri.

"Wih, kamu beneran pengen bantuin aku toh," celetuk Diah.

"Sebenarnya, aku dapat mandat dari Ibu, sih," balasku.

"Iya, saya tau, kok," jawab Bu Sri singkat.

"Heh, apa? Aku kok ndak diberitau?" tanya Diah sambil menoleh bergantian ke arahku dan Bu Sri.

"Nanti kamu juga akan tau. Ayo, waktunya berangkat," sahut Pak Tirta yang tiba-tiba datang ke ruang tamu.

Aku membantu Pak Tirta untuk mengangkut barang yang tadi dikemas oleh Bu Sri dan Diah ke dalam gerobak. Sebenarnya barang ini tidak berat, hanya dimensinya saja yang agak besar. Selesai meletakkan barang ini ke gerobak, kami bersama-sama menuju lift. Tidak banyak orang yang berkumpul saat kami sampai di depan lift. Kami semua masuk saat lift tiba. Sedikit demi sedikit orang memenuhi lift dari setiap lantai ketika kami menuju ke lantai 90.

Sesampainya di lantai 90, kami turun dan membentuk sebuah antrean. Antrean ini akan bergerak sekitar lima menit sekali. Saat aku cukup dekat dengan pintu masuk, aku melihat seorang pedagang minuman memberikan sedikit dagangannya kepada petugas divisi keamanan untuk disodorkan oleh seekor ayam. Mungkin, ini dilakukan mengingat banyak yang terkena tetanus akibat meminum air cup kemarin. Giliran kami telah tiba, Pak Tirta membuka barang yang tadi dikemas oleh Bu Sri dan Diah. Pak Tirta mengambil kotak makan yang di dalamnya berisi roti pisang. Lalu, Pak Tirta mengambil secuil roti itu dan diberikan kepada petugas divisi keamanan. Petugas itu memberikan secuil roti tadi ke ayam yang ada di sana. Setelah menunggu lima menit, ayam itu masih hidup. Kami diperbolehkan untuk masuk area pasar. Bu Sri berjalan di depan sebagai pemandu lokasi lapak kami akan berjualan. Sebentar kami berjalan, akhirnya kami semua berhenti di depan sebuah lapak.

"Gus, kamu fokus saja pada tugas yang diberikan Bu Tanti. Saya yang akan mengatasi pembeli," ucap Bu Sri.

"Tapi–"

"Tidak apa. Mendapatkan informasi adalah prioritas utama," potong Bu Sri.

"Baik," jawabku singkat.

"Diah, kamu juga ikut bantu. Kalau ada hal yang dirasa mencurigakan, segera beritau Agus," perintah Bu Sri.

"Iya, Bu," balas Diah singkat.

Selesai menata dagangan, Pak Tirta pergi sembari menarik gerobak. Setengah jam setelah Pak Tirta pergi, satu persatu pengunjung datang ke pasar. Lama-kelamaan makin banyak pengunjung yang berdatangan. Aku jadi mengerti alasan Bu Sri menyuruhku untuk fokus pada tugasku saat ini. Cukup lama Bu Sri melayani para pembeli, mungkin ada sekitar tiga puluh menit. Ada satu hal yang mengganggu pikiranku sendari tadi. Entah mengapa aku lebih sering melihat orang-orang yang mengenakan jaket abu-abu di lantai ini.

"Ini hanya perasaanku atau memang ada banyak orang yang mengenakan jaket abu-abu di sini?" tanyaku sembari menatap salah seorang dengan jaket abu-abu.

"Iya, Gus. Aku rasa juga begitu," sahut Diah.

"Lagi pula, di sini juga cukup panas. Menurut saya ini sedikit aneh," tambah Bu Sri.

"Aku akan coba mengikuti salah seorang dari mereka," ucap Diah sembari pergi meninggalkan lapak.

KATHAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang