Bagian 16: Kuning Menjadi Merah

64 33 5
                                    

"Apakah Dian itu cuma sebatas teman Akang?"

Aku seketika kaget mendengar pertanyaan Irma barusan.

"Iya, benar."

"Terus, kenapa kemarin dia membekap mulut Akang?"

Aku kebingungan dalam menjawab pertanyaan Irma kali ini. Aku juga tidak mungkin menjawab bila kemarin aku dipaksa bungkam dan menuruti sandiwara Diah. Aku terdiam, hingga Irma mulai berbicara kembali.

"Saya mau jujur. Saya ini tertarik sama Akang kala sore itu. Akang ini mau minta maaf atas perbuatan teman Akang, padahal itu juga ga terlalu penting. Lalu, timbul rasa suka ketika Akang bertamu dan menunjukkan kepribadian tanpa ada yang ditutup-tutupi. Puncaknya, tumbuh rasa sayang saat Akang mencari Irma yang pergi ga jelas ke mana."

"Ma, aku ...."

"Kalau Akang sendiri gimana sama Irma?"

"Aku ... ga yakin."

"Gitu, ya. Maaf sudah membuang waktu Akang."

Irma mengembuskan napas dengan cukup kencang. Irma mengubah posisi dari yang tadinya menyandarkan kepala di pundakku menjadi duduk biasa. Kemudian, dia mengambil gelasnya dan menghabiskan daging kelapa yang tersisa. Suasana menjadi canggung. Aku mengajaknya untuk berkeliling, siapa tau ada minuman yang ingin dia beli. Irma hanya menggeleng lemas tanpa memandangku. Irma mempersilakan aku untuk pulang. Sepertinya aku diusir secara halus olehnya. Aku menghabiskan es kelapaku dan pamitan pulang.

Sesampainya aku di dalam rumah, aku langsung meletakkan box-ku. Setelah itu, aku langsung pergi mandi. Aku tidak bertemu Ibu, padahal biasanya Ibu sudah pulang sekitar waktu ini. Mungkin Ibu ada urusan sampai-sampai belum pulang. Selesai mandi dan berpakaian, aku pergi ke kasur. Rasa lelah membuatku cepat masuk ke alam mimpi.

Aku terbangun karena ada percikan air yang mengenai mukaku. Kulihat Ibu yang sedang membawa gayung. Dengan ekspresi kesal, Ibu berkata kalau makan malam sudah siap. Aku lekas berdiri dan berjalan menuju meja makan. Kakiku terasa agak berat, seperti ada beban yang menempel. Mungkin kakiku lelah akibat jalan kaki ke rumah Irma tiga hari berturut-turut. Kulihat dua piring ayam goreng sudah tersaji di atas meja.

"Dagangan Ibu ndak diborong hari ini?"

"Hari ini tetap laris, kok. Cuma, Ibu sembunyikan dua potong untuk makan malam."

"Makasih, Bu."

"Tiga hari kedepan akan ada pentas seni. Besok waktu pentas jangan pulang jangan malam-malam!"

Selesai makan malam, aku mencuci piring di wastafel. Setelah itu, aku menuju kasur untuk tidur. Sebelum tidur, aku mengirim pesan pada Adit. Pesan itu berisi bahwa aku sudah mendapatkan bahan-bahan untuk membuat bubuk mesiu.

Aku bangun dan bergegas mandi. Setelah mandi dan sarapan, aku dan Ibu berangkat menuju lift. Ketika sampai di rumah Diah, aku mencium harumnya kue pisang. Sepertinya Bu Sri dan Diah sedang mencoba meracik kue pisang pagi ini. Kudengar suara Pak Tirta yang memanggil namaku dan memintaku untuk berhenti. Sejurus kemudian, Pak Tirta keluar rumah dengan membawa sebuah kotak makan.

"Gus, nih buat jajan," ucap Pak Tirta sambil memberikan kotak makan.

"Makasih, Om," ucapku sembari menerima kotak makan itu.

"Ndak kamu buka, Gus?"

"Saya sudah tau kalau ini isinya kue pisang."

"Makasih, Pak Tirta," ucap Ibu.

"Ayo, kita jalan bareng ke lift," ajak Pak Tirta.

Kami melanjutkan perjalanan ke lift. Kami sampai di depan lift bersamaan dengan datangnya lift. Setelah itu, kami bertiga masuk ke lift dan bertemu dengan Adit. Kami berpisah dengan Pak Tirta di lantai 23. Sesampainya di lantai 11, kami berjalan bersama menuju peternakan. Sesampainya di peternakan, Ibu membuka pintu dan menyuruh kami masuk.

KATHAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang