"Dit, kotoran ayam udah banyak, nih. Kita ke Pak Simpei dulu, ya," kataku sambil menyerahkan sekarung kotoran kepada Adit.
"Oke, Pak," balas Adit sembari menerima karung kotoran.
"Habis ke Pak Simpei baru ke lantai 41," imbuhku.
"Bukannya lantai 41 masih ditutup?" tanya Adit sambil menekukkan alis.
"Waktu aku turun tadi sudah dibuka," jawabku.
"Serius kamu, Gus? Sudah dibuka?" tanya Diah.
"Sudah. Emang tadi ditutup?" tanyaku balik pada Diah.
"Waktu saya berangkat tadi masih ditutup," jawab Adit.
"Sama," tambah Diah.
"Pak, kirim pesan dulu. Bisa-bisa nanti Pak Simpei ga ada di kebun," kata Adit.
Kemudian, aku mengirim pesan ke Pak Simpei dan mendapat balasan. Aku memberitahu Adit bila Pak Simpei sedang ada di kebun.
"Pak Simpei ada di kebun, Dit. Yuk berangkat."
"Yuk."
Kami berempat keluar dari peternakan dan menuju lift. Setibanya lift di lantai ini, kami berempat masuk. Aku dan Adit turun di lantai 22. Tanpa buang waktu lagi, aku dan Adit pergi ke perkebunan Pak Simpei. Ketika menuju perkebunan Pak Simpei, aku mendengar langkah kaki lain selain punyaku dan Adit. Saat menoleh ke belakang, ternyata Diah dan Filindo mengikutiku.
"Loh, kalian kok ikutan?" tanyaku.
"Biar nanti bisa ke lantai 41 sama-sama. Lagian aku juga penasaran dengan kejadian kemarin," jawab Diah.
"Aku juga sama dengan Diah," sahut Filindo.
"Ingat, loh, ya. Nanti–"
"Iya, Gus, Iya," kata Filindo memotong ucapanku.
"Udah, kita lekas jual kotoran itu terus naik sama-sama," ucap Diah.
Kami berjalan beramai-ramai ke perkebunan Pak Simpei. Sebentar berjalan, kami tiba di depan perkebunan Pak Simpei.
"Pak, saya Agus," ucapku ke mikrofon yang ada di samping mesin biometrik.
Sebentar menunggu, pintu perkebunan terbuka dan keluarlah Pak Simpei.
"Wah, ini kenapa kok datang ramai-ramai?" tanya Pak Simpei.
"Oh, biasa, Pak. Bos besar selalu dikawal banyak anak buah," jawabku sambil menepuk dan membusungkan dada.
"Oalah, Gus. Mending aku dan Filindo nunggu di depan lift aja," gerutu Diah.
"Hahaha. Jangan gitu lah, Gus," sahut Pak Simpei sembari melempar angin.
"Ini, Pak," ucapku sambil menyerahkan karung.
Pak Simpei melihat seluruh permukaan karung yang kuberikan tadi. "Eh, kamu beli karung baru?" tanya Pak Simpei.
"Iya, Pak." Aku hanya tertawa malu karena tebakan Pak Simpei benar.
Pak Simpei menggeleng-gelengkan kepala. "Karung-karungmu loh ada banyak di sini sampai-sampai saya pakai buat wadah kelapa," ucap Pak Simpei.
"Ndak apa, Pak. Saya ndak keberatan, kok."
"Ndak apa ndak apa apanya, saya yang jadi sungkan. Bentar, ya, saya kasih kamu kelapa."
Kemudian, Pak Simpei kembali masuk ke perkebunan. Baru beberapa detik Pak Simpei masuk, pintu perkebunan terbuka lagi.
"Tolong kalian pegangi Agus, jangan sampai dia kabur," kata Pak Simpei sebelum masuk perkebunannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KATHAH
Mystery / ThrillerSeorang pemuda kebingungan tatkala melihat sebuah gambar. Gambar seekor hewan yang tak memiliki kemiripan dengan ketujuh jenis hewan yang hidup di lingkungannya. Bersama dengan ketiga temannya, ia pergi menuju sumber pengetahuan untuk mengungkap gam...