Bagian 24: Panggilan untuk Berhimpun

63 32 3
                                    

Kulihat Citra sedikit terkejut sebelum akhirnya membelakangiku. Aku sebenarnya ingin mengatasi kecanggungan ini. Tapi, sepertinya kami berdua sedang kalut dengan masalah kami masing-masing.

"Maaf soal tadi. Kita memang tidak cocok."

Aku rasa, Citra ingin menyampaikan sesuatu kepadaku. Karena tindakanku tadi yang tidak pikir panjang, Citra menjadi ragu untuk meneruskan ucapannya. Setelah pulang dari lantai 90, aku akan coba berbicara dengannya sekali lagi. Lift tiba di lantai ini, kami berdua masuk. Sebentar menunggu, kami sampai di lantai 90. Kami disambut oleh seorang petugas dari divisi keamanan. Kemudian, petugas itu memandu kami menuju kediaman Pak Laksmana. Kami berjalan bersama tanpa berbicara sepatah kata. Setelah berjalan sekitar lima belas menit, kami sampai pada sebuah rumah. Ada dua orang yang berjaga di sisi kanan dan kiri pintu itu. Petugas keamanan yang mengawal kami membukakan pintu itu. Kami masuk ke dalam ruangan yang cukup luas. Ada sebuah meja lonjong yang dikelilingi sepuluh kursi dalam ruangan ini. Aku lihat Pak Laksmana yang sedang duduk di salah satu kursi-kursi tadi. Pak Laksmana juga ditemani oleh seseorang wanita yang berdiri di samping kanannya. Kutaksir usianya seumuran Bu Lastri.

Pak Laksmana berdiri dan menjabat tangan Citra "Terima kasih karena sudah datang kemari," kata Pak Laksmana.

"Saya juga, Pak," balas Citra.

"Semua yang kamu butuhkan sudah siap. Tinggal serah terima dan tanda tangan saja."

"Iya, Pak."

"Kamu besok datang lagi ke sini. Saya akan memberikan siaran pers kepada publik mengenai langkah selanjutnya dalam penanganan teroris."

"Baik, Pak."

"Gus, kamu juga datang ke sini besok," kata Pak Laksmana sambil menoleh ke arahku.

"Eh? Saya juga?" tanyaku kebingungan.

"Tentu saja. Kalau bukan karena kamu, kita tidak akan bisa menangkap seorang teroris. Datanglah ke sini jam setengah sembilan pagi."

"Baik, Pak."

"Kalian belum makan siang? Saya akan hidangkan untuk kalian."

"A-a-anu, Pak–" ucapku terbata-bata.

"Sudah, ndak apa. Mbok, siapkan makan siang untuk dua orang," balas Pak Laksmana sambil menepuk-nepuk udara.

"Baik, Tuan. Tuan Agus dan nyonya Citra, siang ini kami menyediakan nasi dan ayam tepung. Untuk hidangan penutup, kami sudah menyiapkan roti pisang dan es krim pisang," kata wanita yang berdiri di samping Pak Laksmana.

Wanita yang berdiri di samping Pak Laksmana tadi meninggalkan kami. Entah ini kebetulan atau tidak, semua menu yang akan dihidangkan merupakan makanan kesukaan kami. Sembari menunggu hidangan tiba, Pak Laksmana berkata bahwa dirinya juga mengundang tujuh orang lagi untuk ikut dalam siaran pers besok. Pak Laksmana mengutus tujuh petugas dari divisi keamanan untuk memberikan pesan kepada tujuh orang yang ditunjuk.

Ada lima wanita yang datang kepada kami. Masing-masing dari mereka membawa barang yang berbeda. Seorang membawa nampan berisi ayam tepung. Seorang lagi membawa satu nampan nasi. Seorang yang lain membawa nampan berisi roti pisang. Terakhir, seorang membawa ember yang tertutup. Aku perkirakan ember itu adalah es krim pisang. Para wanita itu meletakkan masing-masing barang bawaan mereka di atas meja. Meja yang tadinya kosong melompong berganti menjadi meja perjamuan makan.

"Apakah ini tidak berlebihan, Pak?" tanyaku sembari memperhatikan semua hidangan.

"Sudahlah, tidak perlu dipikirkan. Nikmati saja hidangan yang tersedia," jawab Pak Laksmana santai.

"Pak, saya ingin meluruskan sesuatu," sahut Citra tiba-tiba.

"Ya, apa itu?" tanya Pak Laksmana ke Citra.

KATHAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang