Bagian 25: Krisis Benda Sepele

63 32 3
                                    

Citra langsung menuju gelas yang masih tersusun rapi. Setelah itu, Citra mengambil sebuah gelas dan menuju sebuah galon berwarna merah. Dia mengambil air kira-kira dua teguk dan meminumnya. Citra berpindah ke galon yang lain dan melakukan hal yang sama berulang-ulang.

Aku membuang napas panjang. "Besok Citra mungkin akan pilek. Kemaren aja dia dapet es krim dua kotak makan," ucapku.

"Kalau itu bukan mungkin lagi, tapi pasti," sahut Adit.

"Kamu ga mau ambil minum?" tanyaku ke Adit.

"Aku belum pernah mencicipi salah satu dari minuman-minuman itu. Kamu punya saran?" balas Adit.

"Itu aja, minuman berwarna jingga," sahutku sembari menunjuk galon yang kumaksud.

Aku dan Adit mengambil gelas. Lalu kami berjalan menuju galon berwarna jingga. Kulihat Adit yang sedikit terkejut sesudah meneguk minuman berwarna jingga ini.

"Anjir, minuman apa ini? Rasanya segar sekali," ucap Adit seraya terkagum-kagum.

"Gimana? Enak, 'kan?" tanyaku.

"Iya, enak," jawab Adit sembari menangguk.

Filindo menghampiriku. Dia berbisik kepadaku untuk ikut sebentar bersamanya. Aku mengiakan ajakan Filindo dan berjalan mengikutinya. Kami sedikit menjauh dari kerumunan petugas keamanan. Aku rasa ada hal serius yang ingin Filindo bicarakan secara empat mata.

"Aku sebenarnya ingin menanyakan hal ini ketika di rumah sakit. Karena mentalmu yang belum begitu baik saat itu, aku tidak jadi menanyakannya," ucap Filindo.

"Kamu mau tanya apa?" tanyaku dengan sedikit ragu.

"Siapa yang sudah membunuh Diah?" tanya Filindo sambil menatap tajam ke wajahku.

"Orang itu adalah gadis yang dulu kita kunjungi rumahnya," jawabku sesaat sebelum melirik ke bawah.

Wajah Filindo menjadi serius setelah mendengar jawabanku. "Bagaimana cara dia membunuh Diah?"

"Dia menusuk dada Diah dengan pisau. Kemudian, dia mendorong Diah sampai pintu lift dengan pisau yang masih tertancap."

"Makasih. Kita akan bunuh dia di kesempatan kedua," balas Filindo seraya menepuk pundakku.

"Entahlah, Do. Aku tidak yakin," ucapku sambil melirik tak beraturan.

"Gus, kamu jangan terlena dengan penampilannya!" kata Filindo dengan menahan amarah sembari mencengkeram bahuku.

Aku mengalihkan mataku yang tadinya melihat lantai menjadi menatap Filindo. "Tidak tidak. Hanya saja, dia itu adiknya Adit," balasku dengan gugup.

"Gus, aku bawain–"

Adit mendekati kami sambil membawa dua buah gelas. Filindo seketika berbalik ketika mendengar suara Adit. Sebuah pukulan mengenai pipi Adit. Adit terpelanting karena pukulan dari Filindo. Gelas yang dibawa Adit juga jatuh dan isinya membasahi lantai. Untungnya, gelas yang disediakan adalah gelas plastik.

"Do, hentikan!" pekikku sembari menahan tubuh Filindo.

"Hei brengsek! Apakah kamu juga seorang teroris?" cerca Filindo.

Tiga orang petugas divisi keamanan datang. Mereka berusaha melerai perkelahian. Tapi, mereka malah menjadi boneka tinju untuk Filindo. Filindo tetap bergerak bebas walau bahunya sudah kukunci. Rasanya usahaku untuk menghentikannya tidak berguna. Tenaga Filindo terlalu besar untuk kutangani seorang diri. Kulihat Pak Yestrom dengan panik mendekati kami.

"Do, hentikan!" pekik Pak Yestrom.

"Pace, adik orang ini yang sudah membunuh Diah!" seru Filindo.

KATHAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang