Setelah semuanya beres, kami bertiga keluar peternakan dan berjalan ke lift. Ketika lift sampai di lantai ini, kami semua masuk. Aku dan Adit berperpisah dengan Ibu di lantai 41. Sudah beberapa hari aku tidak makan molen. Seperti biasa, aku memaksa Adit untuk membeli molen sebelum berjualan. Entah mengapa, aku merasa orang-orang memberiku sebuah gerakan yang unik selama kami berjalan di lantai ini. Mereka mengepalkan tangan kanan dan menempelkannya di sebelah kiri dada dengan siku yang sejajar dengan kepalan tangan.
Aku bertanya kepada Adit mengenai hal itu. Adit menjawab, mereka melakukan itu sebab aku berhasil melumpuhkan seorang teroris. Saat kutebak orang yang dimaksud Adit adalah Pak Simpei, Adit membenarkan tebakanku. Dia menambahkan setelah kejadian di lantai 41, Pak Simpei dibawa ke rumah sakit untuk merapikan kembali organ dalam yang sudah aku acak-acak. Setelah itu, Pak Simpei dibawa ke markas divisi keamanan untuk diinterogasi.
Setelah berkeliling beberapa saat, kami menemukan penjual molen langgananku. Selesai membayar dan menerima molen kami masing-masing, Adit mengusulkan untuk menjual telur ke Bu Lastri. Adit juga bercerita bila dirinya langsung menuju kedai Bu Lastri dan menjual satu box telur kemarin. Aku mengiakan usulan Adit dan berjalan menuju kedai. Saat mendekati kedai, kulihat ada banyak orang yang sedang makan di depan kedai. Tak ingin mengubah suasana, kami berjalan memutar untuk menghindari pelanggan kedai. Setelah kami cukup dekat, aku meminta tolong kepada Adit untuk menemui Bu Lastri. Sejurus kemudian, Adit datang bersama Bu Lastri.
"Kamu sudah baikan, Gus?" tanya Bu Lastri.
"Sudah kok, Bu," jawabku.
"Kamu kok nemuin saya sambil sembunyi-sembunyi gini, sih?" tanya Bu Lastri sambil beracak pinggang.
"Anu, biar ndak mengubah suasana," jawabku seraya menggaruk kepala bagian belakang.
"Oh, gitu. Saya beli dua box, ya."
Aku langsung membuat barcode untuk dua box telur. Setelah melakukan transaksi, Adit membawakan kedua box-ku ke dalam kedai. Beberapa menit aku menunggu, akhirnya Adit kembali. Karena telur-telurku sudah habis, aku memutuskan untuk menyudahi kegiatan berdagang hari ini.
Dalam perjalanan ke lift, aku melihat para pedagang yang sedang berkerumun. Karena penasaran, aku memutuskan untuk menuju kerumunan itu. Kerumunan pedagang ini sedang melihat LCD yang menayangkan sebuah video. Ada seorang petugas dari divisi keamanan dan Pak Simpei dalam video itu. Pak Simpei duduk di sebuah kursi dengan kedua tangannya berada di belakang. Sepertinya, tangan Pak Simpei sedang diikat. Wajah Pak Simpei lebam, hidung dan mulutnya juga berdarah. Petugas itu memukul muka Pak Simpei berkali-kali. Aku mengajak Adit untuk menonton video ini sebentar untuk mengetahui apa yang terjadi.
"Hei, Bangsat! Katakan, di mana kalian bersembunyi?" tanya petugas itu sambil memukul muka Pak Simpei.
"Tanah leluhurku ...," jawab Pak Simpei lemas.
"Tanah leluhur? Di mana itu?" tanya sang petugas lagi dengan berteriak.
"Tanah leluhurku ... dulunya adalah ... paru-paru dunia," jawab Pak Simpei lagi.
"Jangan mengalihkan pertanyaan kami!" seru sang petugas sembari kembali memukul wajah Pak Simpei.
"Tanah leluhurku dibabat ... untuk dijadikan ... perkebunan sawit," lanjut Pak Simpei.
"Sudah kubilang untuk tidak mengalihkan pertanyaan kami!" teriak sang petugas sambil memukul wajah Pak Simpei lagi.
"Tanah leluhurku rusak ... dan bumi ... menjadi seperti sekarang," balas Pak Simpei sambil meneteskan air mata.
"Dasar pria tua dungu!" Sang petugas memukul wajah Pak Simpei untuk kesekian kalinya.
"Hei! Bocah pemanah! Nasib tanah leluhur kalian juga sama seperti tanah leluhurku, 'kan?" teriak Pak Simpei dengan sekuat tenaga.
KAMU SEDANG MEMBACA
KATHAH
Misterio / SuspensoSeorang pemuda kebingungan tatkala melihat sebuah gambar. Gambar seekor hewan yang tak memiliki kemiripan dengan ketujuh jenis hewan yang hidup di lingkungannya. Bersama dengan ketiga temannya, ia pergi menuju sumber pengetahuan untuk mengungkap gam...