Bagian 30: Mimpi Besar dari Orang Besar

65 32 11
                                    

Pak Surya terkejut saat melihatku. "Agus!" seru Pak Surya.

"Kalian ingin pergi, 'kan? Aku akan ikut," balasku.

"Turunlah dari lift," balas Pak Surya.

Aku turun dari lift. Lalu, Pak Surya meminta Cak Damar untuk melepaskan perlengkapannya.

"Damar, maaf," ucap Pak Surya lirih.

"Anda tidak perlu minta maaf. Cukup fokus pada museum dan kembali hidup-hidup," balas Cak Damar.

"Gus, aku sudah siap untuk–"

"Tidak seharusnya kamu yang membunuh Irma. Biar aku saja yang melakukannya," sahutku memotong ucapan Adit.

"Bapak! Jangan libatkan–"

"Ketika saya melihat mata Agus, Saya tau kalau menghentikannya menjadi sia-sia," ucap Pak Surya memotong ucapan Ibu.

Aku sudah selesai mengenakan semua perlengkapan yang tadinya melekat pada Cak Damar. Kami berjalan bersama menuju lift kedua dengan meninggalkan Cak Damar. Lift tiba bersamaan dengan kedatangan kami. Kami semua masuk lift dan turun di lantai satu. Aku mengikuti rombongan ini sampai di sebuah kendaraan berwarna ungu. Kami semua masuk kendaraan itu. Sejurus kemudian, kendaraan yang kami tumpangi sudah berada di luar Flat.

"Kalian nanti jangan bertindak gegabah," ucap Pak Surya.

"Bagaimana dengan Agus? Apakah dia sanggup bertahan dalam pertempuran nanti?" tanya Adit ke Pak Surya.

"Saya serahkan Agus kepadamu, Dit," jawab Pak Surya sambil menunjuk Adit.

"Pak Surya, saya bisa menjaga diriku sendiri," ucapku meyakinkan Pak Surya.

"Agus punya pendengaran yang tajam. Saya yakin kalau kemampuannya itu bisa melindunginya," sahut Citra.

"Jejak keluarga Santoso menurun ke Agus juga ternyata," kata Pak Surya seraya tersenyum tipis.

Hampir dua jam kami berada dalam kendaraan. Tak lama, kulihat sebuah bangunan dari kejauhan. Itu pertanda kalau kami hampir sampai di museum. Pak Surya memerintahkan kami untuk mempersiapkan pelontar timah dan pisau. Tak terasa, kami sampai di depan gerbang depan museum. Kulihat pasir di gerbang depan museum berwarna agak kemerahan. Selain itu, ada beberapa badan manusia yang menghiasi gerbang depan museum. Aku tidak yakin kalau semua orang yang bekerja di museum ada yang selamat. Masalah kami saat ini adalah cara membuka gerbang depan dari museum ini.

"Sebentar, Pak. Saya sedang berusaha merentas sistem bangunan ini," kata Citra dengan gelisah.

"Saya mengerti. Tidak perlu buru-buru," balas Pak Surya.

"Maaf, saya tidak terlalu ahli dalam bidang ini. Membawa Pak Satya akan jauh lebih berguna daripada saya."

"Sayangnya, kita tidak bisa melibatkan divisi keamanan kali ini."

Gerbang depan terbuka. Kulihat Citra yang tampak seperti orang bingung. Kendaraan masuk sampai gerbang kedua. Setelah gerbang pertama tertutup, gerbang kedua mulai terbuka. Wajah Citra terlihat tambah bingung. Sepertinya, ada sesuatu yang tak beres perihal terbukanya gerbang depan dan dalam. Pintu kendaraan dibuka Pak Surya, kami semua keluar dengan cepat. Kami bergerak mengikuti Pak Surya. Tidak ada musuh yang menembaki kami sejauh ini.

"Kita akan menyusuri lantai ini untuk mencari tangga tersembunyi," ucap Pak Surya.

"Ya, saya sependapat," balas Citra.

"Saya dan Agus akan bersiaga, anggota yang tersisa akan mencari lokasi tangga."

"Siap!" jawab semua orang dalam rombongan.

KATHAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang