Bagian 10: Suaramu Adalah Semangatku

68 37 4
                                    

Aku kontan menepuk pipi kananku berulang. "Eh, aku ga sedang berhalusinasi, 'kan?" tanyaku sambil melirik ke samping kanan.

Selesai menepuk pipi, aku mendapati Adit dan gadis gadis itu melihatku dengan heran.

"Ai, temanmu ga papa, kan?" tanya gadis itu ke Adit seraya menekukkan alis.

"Engga, emang kenapa?" tanya Adit balik.

"Ngga ada petir, ngga ada gempa, tiba-tiba nepuk pipi sendiri kayak orang mabuk."

"Heh! Ngapain juga aku bawa orang mabuk ke sini," jawab Adit.

Aku menunjuk gadis itu beberapa saat sambil menekukkan alis. "Bagaimana kamu bisa berbicara tanpa membuka mulut? Dan satu lagi, kenapa suaranya berasal dari pinggang?" tanyaku.

Adit dan gadis itu saling melirik satu dengan yang lain sebelum akhirnya tertawa bersama. Aku merasa aneh dengan tawa gadis itu karena intonasi tawanya seperti terasa datar.

"Oalah, jadi kamu bingung karena dua hal itu?" tanya gadis itu.

"Iya, tolong jelaskan," jawabku singkat.

Gadis itu menjelaskan bila dia menggunakan alat bantu bicara. Bando yang dipakainya adalah mikrokomputer berfungsi untuk mengolah gelombang otak. Pertama, bando menerima gelombang otak dengan sensor gelombang otak. Setelah itu, data tadi diproses dengan cara mencocokkan pola gelombang dengan daftar kata yang telah terpasang pada penyimpanan. Selanjutnya, daftar kata tadi dikeluarkan melalui speaker yang terhubung dengan bando.

Selesai menjelaskan cara dia berbicara, gadis itu meminta ponselku. Aku lekas mengeluarkan ponsel dan baterainya.

"Ngomong-ngomong, namamu siapa?" tanya gadis itu sambil menerima ponsel beserta baterai.

"Aku Agus," jawabku singkat.

"Aku Citra," balas gadis itu juga.

"Loh, namamu bukannya Artik?" Aku kebingungan karena nama yang dia sebut tidak sama dengan nama yang diucapkan kenalan Adit tadi.

"Bukan. Artik itu kebalikan dari namaku," jawab gadis itu.

"Maksudnya?" tanyaku yang sama sekali tidak mengerti.

"Artik kalau kita balik susunan hurufnya jadi Citra," balas gadis itu setelah mengembuskan napas panjang.

"Oke oke, aku paham," sahutku setelah memahami maksud dari nama gadis itu.

Citra memasangkan baterai ke dalam ponsel. Dia mengajak kami ke arah meja kerjanya. Kemudian, dia mulai fokus dengan monitor. Ruangan ini cukup kecil untuk kami bertiga. Tak banyak properti di dalam ruangan ini. Hanya ada satu meja, satu kursi, satu monitor, dan satu lemari. Kulihat Citra yang sedang menggunakan sebuah program yang hanya berisi baris-baris tulisan saja. Setelah beberapa menit, Citra menengadahkan kepala sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. Rambutnya yang pendek sebahu terlihat seperti sapu saat dia melakukan hal itu.

"Aku sudah periksa ponselmu. Ponselmu memang sedang terhubung dengan perangkat misterius saat ini," ucap Citra dengan mimik serius.

"Waduh, terus gimana?" tanyaku sedikit panik.

"Untuk saat ini biarkan aku memodifikasi ponselmu. Kira-kira butuh dua hari lamanya." Citra menjawab pertanyaanku sambil kembali menatap monitor.

"Waduh, gimana ini? Bakal ada empat box telur yang harus aku jual nanti," balasku sambil menunjuk box-ku.

"Hei, Gus. Kemarin waktu ponselmu mati, kita menggunakan ponselku untuk mencatat transaksi, 'kan?" sahut Adit.

"Benarkah?" tanyaku balik.

KATHAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang