Bagian 22: Pipa Bocor dalam Rumah

64 33 7
                                    

Ada sepasang tangan yang menggenggam tanganku. Saat kulihat, tangan Ibu yang menggenggam tanganku. Kulihat balutan perban pada tangan kananku. Berbeda dengan tangan kanan, tangan kiriku terhubung dengan selang infus. Aku bangun dari kasur dengan bantuan Ibu. Ada beberapa orang di sekelilingku. Mereka adalah: Citra, Filindo, dan Bu Lastri. Wajah mereka tampak muram, terutama Filindo. Tanpa sadar, air mata mengalir dari mataku. Ibu langsung memelukku sambil mengusap kepalaku dengan lembut. Setelah beberapa menit, Ibu melepas pelukannya dan duduk di atas kasurku.

Aku menatap tangan kananku yang bergetar kecil. "Andai, waktu itu aku tidak ragu ...."

"Gus, sudahlah–"

Aku menutup mata rapat-rapat seraya mengepalkan tangan. "Ini semua salahku!" seruku menyela ucapan Ibu dengan parau.

Ibu kembali memelukku. Saat itu, aku juga merasakan sesaknya napas Ibu.

"Kamu memimpikan hari pertama kita bertiga bertemu, 'kan?" tanya Filindo.

"Iya. Sudah berapa hari aku di sini?" tanyaku balik.

"Kamu sudah dua hari ndak sadarkan diri karena kehilangan banyak darah. Ibu jadi khawatir," sahut Ibu seraya mengelus kepalaku.

"Maaf sudah membuat Ibu khawatir," ucapku lemas.

"Kata dokter, besok siang kamu sudah boleh pulang."

Saat kami sedang berbincang, aku mendengar suara yang cukup kencang dari balik pintu.

"Pak Laksmana, sa-saya ambilkan ku-kursi, biar Ba-Bapak ndak bersila di lantai," ucap seorang perempuan dari balik pintu.

"Tidak perlu. Tubuh saya tidak semanja itu," jawab seorang Bapak yang aku yakini adalah Pak Laksmana.

"Ja-jangan gitu, Pak. Na-nanti saya yang dimarahi."

"Kalau nanti kamu dimarahi, bilang ke saya. Satu lagi, jangan berisik di rumah sakit."

"Ma-maaf, Pak. Sa-saya mohon i-izin untuk be-bertugas kembali."

"Baik, terima kasih."

Aku lihat semua orang yang mengunjungiku menjadi gusar. Lalu, semua orang yang mengunjungiku bersiap-siap untuk meninggalkan ruangan. Saat Ibu membuka pintu, Pak Laksmana menghentikan Ibu serta berkata agar tidak perlu terburu-buru. Mendengar ucapan Pak Laksmana, mereka semua kembali ke posisi semula. Ibu mengajak Pak Laksmana untuk masuk karena sungkan bila Pak Laksmana harus duduk di lantai luar ruangan. Pak Laksmana menyetujui ajakan Ibu dan masuk. Kami berbincang sekitar satu jam dalam ruangan. Pak Laksmana mendominasi dengan lawakan bapak-bapak. Walau terasa garing, setidaknya kami cukup terhibur. Setelah itu, orang-orang memutuskan untuk membubarkan diri. Pak Laksmana meminta untuk berbincang sebentar denganku, Adit, Citra, dan Filindo sebelum meninggalkan ruangan.

"Maaf, Pak. Adit tidak ada di sini," ucap Citra.

"Begitu, ya. Ngomong-ngomong, di mana gadis yang kapan hari bersama saya di lantai 71?" tanya Pak Laksmana.

"Dia jatuh ke dalam jalur lift dari lantai 41," balasku.

Pak Laksmana seketika tersentak. "Astaga!"

"Saya ... saya ...."

Pak Laksmana menghampiriku dan memegang pundakku. "Saya turut berduka. Tapi, kali ini kita akan lawan balik mereka!"

Aku terkejut mendengar perkataan Pak Laksmana barusan. Kulihat Citra dan Filindo juga demikian.

"Saya mendapat kabar kalau kamu menciptakan senjata yang mirip dengan milik teroris," ucap Pak Laksmana sambil menunjuk Citra.

"Benar, Pak," jawab Citra.

KATHAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang