"Kamu mau sarapan sama telur?" tanya Ibu sambil melihat wajahku dari dekat.
"Kalau ndak sarapan nanti lemes, dong," jawabku santai.
"Oke. Sambil nunggu mateng, kamu isi telur ke box sampai penuh untuk diberikan ke Bu Sri."
"Siap, Bu."
Ibu menggoreng telur untuk sarapan. Setelah selesai sarapan, aku melaksanakan apa yang Ibu perintahkan tadi. Selesai sarapan, kami keluar rumah dan berjalan bersama menuju lift. Aku mampir dulu ke rumah Diah untuk memberikan telur, hitung-hitung sebagai balas budi untuk beberapa hal belakangan ini. Selesai memberi telur, kami melanjutkan perjalanan menuju lift. Sepanjang perjalanan, aku tidak menemui LCD yang memberitakan terbunuhnya Panji. Mungkin kepala Flat tidak ingin acara pentas seni besok terganggu dengan kepanikan akibat ulah teroris.
"Nanti kamu coba jualan telur. Kalau daganganmu ga terlalu laris, kamu langsung pulang aja."
"Oke, Bu."
Lift tiba di lantai ini, kami masuk bersama-sama. Adit menyapa kami yang barusan masuk lift. Setelah itu, kami menunggu hingga lift tiba di lantai 11. Kami bertiga turun dan berjalan menuju peternakan. Jalanku agak lambat karena kakiku yang masih terasa pegal. Adit dan Ibu sampai di peternakan lebih dahulu. Aku juga mempercepat langkahku menuju peternakan. Saat beternak, Adit mencuri kesempatan untuk berbisik denganku di sela-sela kegiatan beternak.
"Tidak kusangka bila dua hari yang lalu adalah hari terakhir bersama Panji," ucap Adit dengan wajah lesu.
"Aku menyesal. Seharusnya aku mendengarkanmu sejak awal," balasku tertunduk.
"Daripada menyesali kematian Panji, lakukan sesuatu yang sekiranya berguna," kata Adit sembari menepuk pundakku.
"Tapi, aku takut jika kejadian seperti di rumah Irma akan terulang." Aku menatap tanganku yang bergetar.
"Sebenarnya, hari ini aku ingin mencari perajin untuk senjata kita. Tapi ...." Adit melirik ke arah lain saat memutus ucapannya.
"Ada apa?" Aku berhenti sejenak dan beralih menatap Adit.
"Citra memintaku untuk menemaninya di grup saraf."
"Biar aku aja yang menemani Citra. Kamu tetap fokus cari perajin untuk senjata kita."
"Oke, aku akan mengabari Citra."
"Eh, hari ini juga waktunya pergi ke Pak Simpei!" seruku.
Adit membuka ponsel dan mengetikkan sesuatu. Sepertinya, itu adalah pesan kepada Citra. Selesai beternak, kami bertiga keluar peternakan dan menuju lift. Aku berpisah dengan Ibu di lantai 22 karena aku akan menjual kotoran terlebih dahulu di kebun Pak Simpei. Setelah berjalan beberapa saat, aku sampai di perkebunan Pak Simpei.
Setelah bertransaksi dengan Pak Simpei, kami meninggalkan perkebunan dan kembali berjalan ke lift. Adit berkata kalau dia meminta Citra untuk menunggu di lift selatan lantai 41. Tanpa buang waktu lagi, aku dan Adit masuk lift dan menuju lantai 41. Aku berpisah dengan Adit di lantai 41 dan bergegas menuju kedai Bu Lastri untuk menjual telur. Ketika sampai, aku lihat kedai Bu Lastri tutup. Beberapa kedai yang sejalan dengan kedai Bu Lastri juga tutup, mungkin karena persiapan untuk acara pentas seni. Aku berjalan ke lift karena tidak ada tujuan lain. Ketika berjalan ke arah lift, aku mendapat panggilan telpon dari Citra. Citra memintaku untuk menunggu di depan lift selatan lantai 41, lebih tepatnya di lift kedua. Sesampainya aku di lift, aku menjual telur sambil menunggu kemunculan Citra.
Selang berjualan sekitar tiga puluh menit, Citra baru menampakkan dirinya. Hari ini Citra mengenakan kaus dengan motif jumputan. Warna bajunya sangat banyak, sangat kontras dengan bajuku yang biru polos. Dia datang dengan membawa dua buah bungkus es. Aku menyudahi aktivitas berdagangku yang sejak tadi tidak membuahkan hasil.
KAMU SEDANG MEMBACA
KATHAH
Misterio / SuspensoSeorang pemuda kebingungan tatkala melihat sebuah gambar. Gambar seekor hewan yang tak memiliki kemiripan dengan ketujuh jenis hewan yang hidup di lingkungannya. Bersama dengan ketiga temannya, ia pergi menuju sumber pengetahuan untuk mengungkap gam...