Bagian 14: Rencana Membeli Bubuk Hitam

64 33 5
                                    

Aku melanjutkan perjalan pulang. Setelah sampai di rumah, aku segera meletakkan telur-telur yang tidak terjual hari ini ke dalam kulkas. Tidak ada pemantik apa-apa, aku tiba-tiba teringat dengan perkataan Irma kalau rumahnya berada di lantai ini. Karena hari belum terlalu sore, aku memutuskan untuk menghabiskan waktu dengan berkeliling sembari mencari rumah Irma.

Aku langsung berjalan menuju lift utara. Sebenarnya aku sendiri ragu karena aku mencari rumah seseorang hanya dari satu informasi abstrak. Aku berjalan sambil sesekali melihat sekitar, sampai akhirnya pintu lift utara mulai terlihat. Setibanya di lift utara, aku coba berjalan ke barat sambil memandangi langit sore. Karena aku tidak melihat manusia yang mirip dengan Irma, aku belok ke selatan untuk pulang. Saat ingin pulang, aku mendengar speaker yang sedang memutar sebuah lagu. Suara speaker ini cukup pelan, mungkin karena jarakku yang cukup jauh dari sumber suara.

Lagu ini menceritakan suatu tempat yang kaya akan sumber makanan. Begitu kayanya sumber makan tempat itu sampai-sampai diberi julukan kolam susu. Kita bisa bertahan hidup hanya bermodalkan kail dan jala. Tidak ada ancaman topan atau badai. Saking mudahnya kota mencari makan, ikan menghampiri kita. Banyak orang berkata bila tanah tempat itu bagai surga. Bagaimana tidak, kayu yang ditancapkan sembarangan bisa menjadi tanaman.

Aku mencari asal suara speaker itu. Setelah beberapa saat mencari, aku tiba di sebuah rumah. Lokasi rumah ini berada di pinggir Flat, mirip dengan rumahku. Aku hendak mengetuk pintu, tapi keraguan menahan tanganku. Lagi pula, berkunjung ke rumah seseorang karena mendengar sebuah lagu adalah alasan yang aneh. Dorongan keraguan yang terlalu kuat membuatku berbalik arah.

"Akang?" ucap seorang gadis diiringi suara pintu yang terbuka.

Aku yang sudah membelakangi pintu rumah kembali memutar badan. Aku terkejut karena orang yang kulihat itu adalah Irma.

"Irma?"

"Kok Akang tau rumah saya?" tanya Irma dengan terkejut juga.

"Sebenarnya, aku dengar sebuah lagu. Saat aku dekati, ternyata berasal dari rumah ini," jawabku seadanya.

"Terus, kenapa Akang kembali?"

"Ya aneh aja kalau berkunjung karena penasaran dengan lagu."

"Sekarang, Akang sudah tau kalau ini rumah saya. Ayo masuk, pasti Akang capek habis jalan-jalan."

Irma menggenggam tanganku. Aku ditarik ke dalam rumahnya. Kini, alunan lagu itu jadi terdengar jelas. Karena penasaran, aku menanyai Irma.

"Lagu apa itu, Ma?"

"Itu judulnya Kolam Susu."

"Hmm, aku baru tau kalau ada lagu selain Hari Merdeka dan Indonesia Raya."

"Itu lagu wajib, kalau ini bukan. Santai dulu, saya buatkan minuman."

"Ga usah, Ma. Jadi ngerepotin."

"Padahal minuman buatan saya juga enak, loh."

Irma menatapku dengan alis berkerut sambil menggembungkan pipinya sedikit. Aku sebenarnya juga merasa haus, tapi aku malu untuk berkata terang-terangan. Irma mendekatkan wajah perlahan tanpa mengubah mimiknya, seperti mengisyaratkanku untuk segera menerima tawarannya tadi. Aku mengangguk kecil sebagai jawaban untuk itu. Irma yang melihat itu menjadi semringah.

"Akang ini orangnya sungkanan, ya," ucap Irma dan diakhiri dengan tersenyum.

"Hehehe." Aku tertawa malu.

"Bentar ya, Kang."

Irma pergi ke belakang. Sambil menunggu Irma, aku melihat-lihat ruang tamu rumah ini. Ada sebuah boneka mirip manusia yang dipajang dalam lemari kaca. Boneka ini memiliki tinggi kira-kira empat puluh sentimeter dan kulit berwarna merah. Boneka ini mengenakan setelan serba hitam. Ada dua gigi bawah yang terlihat menyolok pada boneka ini. Terdapat juga tongkat yang terhubung di bagian tangan.

KATHAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang