Bagian 7: Simulasi Manusia Sakit

74 43 5
                                    

"Sore, Bu Lastri," sapaku ke Bu Lastri.

"Sore juga," balas Bu Lastri.

"Kalau gitu, saya pamit dulu," ucap orang yang mengenakan baju hazmat sebelum pergi.

"Nggeh, Pak. Monggo," balas Bu Lastri.

"Tadi Bu Lastri berbincang soal apa?" tanya Diah.

"Saya berbincang soal mayat suami saya. Petugas tadi bilang kalau saya bisa lihat simulasinya di grup jenazah lantai 65," terang Bu Lastri.

"Bolehkah saya ikut?" tanyaku cepat ke Bu Lastri.

"Boleh. Kamu juga dekat dengan mendiang suami saya, rasanya kamu juga perlu tau bagaimana kondisi terakhirnya," jawab Bu Lastri.

"Terima kasih banyak, Bu."

"Teman-temanmu juga boleh ikut kalau mereka mau," ucap Bu Lastri sambil menoleh ke teman-temanku.

Aku berbalik menghadap teman-temanku. "Teman-teman, kalian ikut ke grup jenazah?"

"Ikut!" jawab ketiga temanku dengan kompak dan tegas.

Akhirnya, ada kesempatan untukku melihat kondisi terakhir dari mayat Pak Tedjo, walaupun itu dalam bentuk simulasi mayat.

Tak terasa air kelapa beserta daging kelapaku sudah habis, begitu juga dengan punya Adit. Aku dan Adit berjalan untuk menemukan tempat sampah. Setelah selesai membuang sampah kelapa, kami kembali lagi ke Bu Lastri. Aku mendapati Diah dan Filindo yang tengah serius berbincang dengan Bu Lastri. Sadar dengan kehadiranku dan Adit, Filindo meminta Bu Lasti untuk menjeda perbincangan mereka. Filindo memintaku untuk lekas duduk dan bergabung.

"Bisa Ibu ceritakan lagi secara singkat soal perbincangan kita tadi? Soalnya Agus dan Adit ndak ikut nyimak," ujar Diah ke Bu Lastri.

"Saya sudah curiga kalau suami saya kenapa-kenapa. Sejak tiga hari yang lalu dia tidak memberi kabar apa pun, bahkan sebuah pesan singkat pun tidak. Dia memang sering pulang setelah tiga atau empat hari, tapi selalu memberi kabar setiap harinya," terang Bu Lastri.

"Terus, suami Ibu juga jeli dalam melihat karat, 'kan?" tanya Diah lagi.

"Iya. Suami saya sangat jeli. Melihat ada karat sedikit saja pada alat masaknya, dia langsung beli baru," jawab Bu Lastri.

"Hmm," gumam Diah.

Diah tampak berpikir, sepertinya dia mencurigai sesuatu. Sambil menunggu lift, kami menghabiskan waktu dengan beristirahat. Tidak terasa lift akan segera sampai di lantai ini. Kami lekas berdiri dan masuk lift. Kami berdesak-desakan dengan orang-orang ketika masuk lift karena sekarang adalah jam padat-padatnya orang-orang untuk pulang. Kami berhasil masuk lift walau dengan susah payah. Rombongan kami turun sesampainya lift di lantai 65. Kami kembali berdesak-desakan hanya untuk turun ke lantai ini. Sebentar berusaha, kami semua bisa turun dari lift.

"Bu Lastri tau lokasi fasilitas grup jenazah?" tanya Diah.

"Saya tadi diberitau, setelah keluar dari lift jalan saja lurus ke utara," jawab Bu Lastri.

Kami berjalan ke utara sesuai arahan Bu Lastri. Sejauh ini, kami belum bertemu dengan satu orang pun di lantai ini. Suara langkah kaki kami terdengar sangat jelas ketika berjalan di lantai ini. Selain itu, aku merasa kalau hawa lantai ini paling dingin jika dibandingkan dengan semua lantai yang pernah aku kunjungi. Mungkin karena jumlah orang di lantai ini yang lebih sedikit dibanding lantai lain.

Setelah berjalan beberapa saat, Filindo memberitahu kami kalau dia melihat seseorang. Kami mendekati orang yang dilihat Filindo tadi. Kulihat seorang pria tengah berdiri di depan pintu. Terdapat sedikit keriput di wajahnya. Rambut pria ini juga sudah beruban di beberapa tempat. Jas putih yang dia dikenakan memperkuat identitasnya sebagai bagian dari divisi kesehatan.

KATHAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang