Bagian 15: Peringatan yang Membingungkan

64 33 4
                                    

"Akang kangen sama saya, ya?" tanya Irma sambil mencondongkan badannya.

"Sebenarnya, aku mau minta tolong," jawabku kikuk.

"Minta tolong apa?"

"Aku–"

"Agus!"

Aku mendengar suara Diah dari kejauhan. Kulihat Diah yang sedang berlari ke arahku. Setelah beberapa saat, Diah sampai di rumah Irma.

"Hei, ngapain kamu ke sini?"

"Aku ... ingin ...."

"Ini, minum dulu."

Aku memberikan botolku yang isinya tinggal setengah ke Diah. Dengan cepat, Diah meminumnya sampai habis. Ketika aku menoleh ke arah Irma, senyumnya berganti menjadi lekuk cemberut tipis.

"Dia siapa, Kang?" tanya Irma sambil menyipitkan mata.

"Dia ini–"

"Dian Sucipto, kalau kamu?" ucap Diah memotong perkataanku.

"Saya Irma Wirama. Ayo masuk, ga enak ngobrol di luar," balas Irma seraya masuk rumah.

Aku dan Diah masuk ke rumah Irma. Ada satu hal yang mengusikku barusan, mengapa Diah menyamarkan namanya dari Irma? Apa Diah memiliki maksud lain? Sama sepertiku saat pertama berkunjung, mata Diah tertuju pada wayang golek yang terpajang dalam lemari kaca. Kami semua duduk di kursi panjang dengan posisiku yang diimpit Irma dan Diah. Aku membuka tas dan mengambil kotak makan sebelum mulai bicara.

"Sebelum aku mengutarakan maksudku ke sini, aku mau memberikanmu ini," ucapku sambil memberi kotak makan ke Irma.

"Ini isinya apa?" tanya Irma sambil melihat kotak makanku.

"Buka aja."

Irma terkejut setelah membuka kotak makanku.

"Aku dengar dari temanku kalau minuman yang kamu suguhkan kemarin adalah minuman bernilai ekonomi tinggi," ucapku sembari tersenyum tipis.

"Ya ampun, Akang!" balas Irma.

"Selain itu, aku juga ingin minta tolong sesuatu," kataku dengan ragu-ragu.

"Minta tolong apa?" tanya Irma sambil mendekatkan wajahnya kepadaku.

"Aku ingin membeli beberapa barang dari divisi pekerja produk sintetis. Tapi, aku tidak bisa membeli barang-barang itu karena tidak punya surat izin khusus."

"Barang-barang itu adalah belerang, karbon, dan potasium nitrat," potong Diah.

Irma seketika menekukkan alis setelah Diah bicara. "Kamu kenapa, sih? Dari tadi motong ucapan Akang!" ucap Irma kesal.

"Ma, sudah–"

Kini, Diah juga ikut menekukkan alisnya sembari menatap Irma. "Agus itu orangnya pelupa. Daripada dia menyebutkan bahan yang salah, lebih baik aku aja yang bilang," balas Diah yang tak mau kalah.

"Dian, tunggu–"

"Akang aja belum menyelesaikan omongannya dan kamu bilang dia akan salah sebut?" tanya Irma dengan meninggikan suara.

"Gus, sebutkan bahan-bahan yang kamu perlukan!" perintah Diah kepadaku dengan nada tinggi.

"Tadi itu butuh belerang, karbon, dan sodium nitrat kalau ga salah. Sebentar, aku buka memo," balasku sembari melihat memo dalam ponsel.

"Tuh! Aku bilang juga apa!" ucap Diah ke Irma dengan nada yang tak kalah tinggi.

Kini, Irma menatap tajam ke arah Diah. Jujur, aku sedikit merinding saat melihat wajahnya. Tiba-tiba, Irma menoleh sebentar ke sisi kiri ruang tamu—arah jendela yang ada di belakang kursi tempat kami duduk. Setelah itu, dia kembali menoleh ke arahku. Kini, tatapannya menjadi sayu.

KATHAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang