Adit biasanya membeli makan malam sebelum pulang. Sebelum menuju lift pertama, aku membuka memo yang tadi kubuat di dalam ponsel. Aku baru ingat bila Ibu memintaku untuk membelikan tepung terigu di pasar. Setelah berkeliling sebentar, aku menemukan penjual tepung terigu. Aku langsung menuju lift sesudah membeli dua bungkus tepung. Cukup ramai kerumunan orang saat aku tiba di dekat lift karena sekarang termasuk jam pulang. Aku masuk setibanya lift di lantai ini dengan sedikit berdesakan. Saat masuk lift, aku mendapati Diah yang sudah ada di dalam.
"Selamat sore, Yang Mulia," salamku ke Diah.
"Sore juga, Pengawal," jawab Diah dengan angkuh.
Diah mengendurkan otot-otot wajahnya. "Gimana jual telur hari ini?" tanya Diah.
"Lancar. Kalau panenmu gimana?" tanyaku balik.
"Heh, capek mondar-mandir sambil angkat pisang."
Lift tiba di lantai 71. Aku dan Diah turun dan berjalan pulang bersama. Kulihat Diah yang berjalan dengan gontai. Sepertinya panen kali ini menguras banyak energinya.
"Om masih di kebun?" tanyaku ke Diah.
"Iya, masih," jawab Diah dengan lesu.
"Kalian berdua pasti sibuk banget hari ini."
"Iya, Gus. Bapak masih angkat-angkat batang pisang. Aku mau bantuin, tapi Bapak nyuruh aku pulang."
"Bapakmu baik, ya. Dia ga ingin anaknya kecapekan," balasku sambil melirik ke arah lain.
Aku tumbuh besar tanpa sosok Bapak. Terkadang, aku merasa iri bila teman-temanku menceritakan tentang bapak mereka. Ibu berkata kalau Bapak sudah meninggal ketika aku masih bayi. Saat kutanya penyebab meninggalnya Bapak, Ibu hanya diam saja. Tak ada satu pun peninggalan berupa foto atau video yang menunjukkan wajah bapakku di dalam rumah.
Tanpa terasa kami sudah di depan rumah Diah dan tandanya kami harus berpisah. Setelah berjalan beberapa puluh meter, akhirnya aku sampai di depan rumahku. Kubuka pintu rumah dan memberi salam.
"Bu, aku pulang," salamku sembari memasuki rumah.
Tak mendapat balasan, aku segera menuju meja makan.
"Sepi, apa Ibu sedang keluar?" gumamku.
Aku memasukkan sisa telur ke dalam kulkas sebelum pergi mandi. Tak lupa, aku juga meletakkan tepung terigu pesanan Ibu di dapur. Ketika menuju kamar mandi, aku melihat sebuah box yang asing. Box ini tergeletak di sebelah pintu kamar mandi. Aku yakin kalau itu bukan paket karena tampilannya yang cukup lusuh.
"Rasanya aku belum pernah melihat box itu dari dulu," gumamku.
Kulihat box itu yang menganga dengan tutupnya entah di mana. Karena penasaran dengan isinya, kuputuskan untuk berjongkok dan mengintip ke dalam. Aku mendapati sebuah buku dalam box itu dengan gambar sampul yang cukup aneh untukku. Terdapat tulisan "Ensiklopedi Hewan Nusantara" yang tercetak pada sampul buku itu. Hal yang membuatku bingung adalah sampul itu menampilkan tujuh gambar yang tampak seperti gambar hewan. Salah satu dari tujuh gambar hewan itu mendekati bentuk ayam. Ada satu gambar hewan yang berukuran paling besar dan paling menyolok di antara gambar hewan yang lain.
"Gambar hewan apa yang paling besar ini? Seperti ayam, tapi kenapa matanya ada di pangkal leher? Mengapa ayam ini berkaki empat? Mana bulu-bulunya? Apa itu sayap? Dan, kenapa berwarna abu-abu?"
Pintu kamar mandi terbuka secara tiba-tiba. Kulihat Ibu yang sedang berdiri di dalam kamar mandi. Wajah Ibu seketika berubah menjadi panik. Cepat-cepat Ibu mengambil box tadi dan meletakkan alat misterius yang pernah kulihat ke dalamnya. Setelah itu, Ibu menutup bagian atas box dengan satu tangannya sebelum berbalik membelakangiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
KATHAH
Mystery / ThrillerSeorang pemuda kebingungan tatkala melihat sebuah gambar. Gambar seekor hewan yang tak memiliki kemiripan dengan ketujuh jenis hewan yang hidup di lingkungannya. Bersama dengan ketiga temannya, ia pergi menuju sumber pengetahuan untuk mengungkap gam...