Bagian 13: Kabar Angin dalam Flat

64 33 7
                                    

Setelah pesananku tiba, aku lekas bayar dan pergi dari situ. Aku berjalan dengan keringat yang perlahan menyelimuti tubuhku. Belum satu menit berjalan, aku jatuh karena merasa tubuhku yang hilang keseimbangan. Tahu akan hal itu, Adit membantuku untuk menepi.

"Kamu berkeringat banyak sekali," kata Adit dengan panik.

"Sepertinya aku tidak sehat," ucapku tanpa melihat Adit.

"Kenapa? Apa karena telur kemarin itu? Apa karena mimpimu semalam?" tanya Adit bertubi-tubi.

"Aku akan pulang–"

"Tunggu!"

Adit menggenggam pergelangan tanganku. Aku berusaha melepaskan genggamannya. Namun, aku tidak bisa melepaskan genggaman Adit karena tenagaku sudah kering akibat ketakutan.

"Dit, tolong lepasin," ucapku dengan lesu.

"Aku menduga ada sesuatu yang membuatmu menjadi seperti ini," balas Adit.

"Engga, kok. Aku emang agak ga enakan aja pagi ini."

"Kita cari tempat yang cukup sepi untuk mengobrol."

Aku berjalan mengikuti Adit. Seingatku, baru kali ini aku mengekor Adit di lantai 41. Setelah menemukan tempat yang cukup sepi, Adit memintaku untuk menepi.

"Sebenarnya, aku tadi mendengar percakapan orang-orang yang mengantre molen tadi. Lalu, aku jadi teringat dengan mimpi semalam," terangku.

"Apa yang kamu mimpikan?" tanya Adit dengan serius.

"Aku memimpikan semua korban akibat ulah pamanku," jawabku lirih.

"Apa yang mereka lakukan dalam mimpimu?"

"Mereka mengintimidasiku."

"Jadi begitu ternyata. Ngomong-ngomong, aku rasa orang-orang di lantai ini terus memandang ke arah kita."

"Mereka mencurigai kita. Aku juga dengar dari obrolan orang-orang yang mengantre tadi."

"Kita dicurigai karena apa?"

"Mereka berkata bahwa kita sama-sama keluar dari markas divisi keamanan dengan mudah. Kemudian, saat kita keluar dari markas teroris, kita juga masih selamat."

"Tapi, aku tidak menemui nama kita dalam berita meninggalnya Pak Joko yang disiarkan melalui LCD."

Aku menikmati molen sembari memulihkan diri. Setelah dirasa cukup, aku dan Adit lanjut menjual telur-telur ini. Sudah tiga jam semenjak aku datang di lantai ini, hanya sepuluh butir telur saja yang berhasil terjual. Rasanya hari ini daganganku sangat sepi pembeli. Sadar karena sepinya pembeli, aku memutuskan untuk berkeliling sambil menawarkan telur. Tak terasa kami memjajakan dagangan sampai di area sekitar kedai Pak Tedjo. Aku melihat kedai Pak Tedjo sudah ramai dengan kumpulan orang. Aku dan Adit memutuskan untuk menghampiri kedai Pak Tedjo dan berharap ada rezeki yang bisa kami dapat. Kulihat Bu Lastri sedang menggoreng sesuatu. Bu Lastri yang sadar akan kedatangan kami memberi isyarat untuk datang menemuinya. Kami mengambil jalan memutar untuk menghindari kontak dengan pelanggan kedai. Sesampainya di dekat kedai, kami duduk di luar sambil menunggu Bu Lastri menyelesaikan masakannya.

"Halo, Gus," sapa Bu Lastri.

"Halo, Bu Lastri," balasku.

"Bu Lastri masak apa?" tanya Adit.

"Masak telur. Oh iya, telur-telurmu masih ada?" tanya Bu Lastri sembari menunjuk box-ku.

"Masih, Bu. Masih banyak malahan," jawabku sambil membuka salah satu box.

"Saya beli satu box telur. Kebetulan telur di kedai mau habis."

"Baik, Bu. Terima kasih."

Bu Lastri kembali ke dalam kedai. Beruntungnya aku, Bu Lastri mau membeli telur-telur ini. Tak lama, Bu Lastri datang sambil membawa ponsel. Adit dengan sigap membuat transaksi satu box telur. Adit khawatir akan memakan waktu bila Bu Lastri melakukan transaksi dengan memindai stiker barcode. Setelah selesai, Bu Lastri berkata bila dia membawa box telurku ke dalam kedai dan memindahkan isinya. Beberapa menit kami menunggu, Bu Lastri keluar dan mengembalikan box-ku. Kami berpamitan kepada Bu Lastri serta pergi meninggalkan kedai Pak Tedjo.

KATHAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang