Bagian 27: Meletus Balon Hitam

63 32 6
                                    

Karena tidak ada hal menarik dari ponsel ini, aku beralih dengan buku yang pernah kubaca di museum. Teringat dengan gambar burung yang ada di sampul buku, aku membalik-balik halaman untuk menemukan informasi tentang burung itu. Ternyata, burung itu adalah merak hijau. Burung ini dulunya hidup di Pulau Jawa. Burung ini memiliki ukuran yang cukup besar. Meski begitu, burung ini juga bisa terbang. Pejantan memiliki ekor yang sangat panjang. Mereka mengembangkan dan memamerkan ekornya saat musim kawin.

Tiba-tiba bahuku terasa nyeri. Aku sontak memegangi bahu kananku dengan tangan kiri. Aku berdiri dan menuju kulkas. Kuharap ada air dingin untuk mengompres bahu kananku. Untungnya, ada satu botol air setengah liter dalam kulkas. Aku mengambil botol itu dan meletakkannya di atas meja makan. Ketika meletakkan botol air di atas meja makan, aku melihat sebuah gambar dalam box. Ada sebuah gambar kendaraan yang hanya memiliki dua roda. Satu roda di bagian depan dan satu roda di bagian belakang. Kendaraan apa ini? Mengapa sopir kendaraan ini mengenakan baju khusus? Lalu, mengapa lantai dalam gambar itu berwarna hitam? Apakah mereka mengendarai kendaraan itu di dalam Flat?

Rasanya, aku semakin menjauh dari kenyataan yang ada selama ini. Selalu ada hal baru saat aku mengetahui sesuatu tentang masa lalu. Seandainya Bumi tidak mengalami bencana besar, pasti hal-hal aneh dalam box milik Ibu berseliweran saat ini. Daripada pusing sendiri, lebih baik aku mengambil handuk kecil untuk mengompres bahuku. Setelah aku mengambil handuk kecil, aku mengambil mangkuk untuk wadah air dingin. Tiba-tiba, aku kepikiran dengan keadaan peternakan. Aku dan Ibu tadi meninggalkan peternakan untuk menjalankan misi. Aku mengambil ponsel dan menelpon nomor Adit.

"Dit, bagaimana keadaan di peternakan sekarang?"

"Saya dan Bu Tanti sedang bersih-bersih."

"Oke oke, aku akan segera ke sana."

"Tidak perlu. Sebentar lagi kami hampir selesai. Tunggu, Bu Tanti ingin berbicara denganmu."

"Halo, Gus. Kamu sudah sembunyikan box milik Ibu?" tanya Ibu melalui panggilan telepon.

"Belum, Bu. Aku masih baca-baca," balasku.

"Kalau sudah selesai, kembalikan box itu ke kamar Ibu, ya."

"Iya, Bu."

Aku menyudahi aktivitas mengintip sisa-sisa peninggalan masa lalu. Kemudian, aku memasukkan buku yang tadi kubaca ke dalam box. Setelah itu, aku membawa box itu ke dalam kamar Ibu. Aku sempat bingung untuk meletakkan box ini karena aku tidak tahu di mana Ibu biasa menyimpannya. Saat melihat laci susun, aku merasa box ini cukup untuk dimasukkan ke dalamnya. Kubuka laci paling bawah dan kumasukkan box milik Ibu. Selesai mengembalikan box milik Ibu, aku kembali ke meja makan untuk mengompres bahuku.

Setelah kurasa air dalam mangkuk sudah tidak dingin, aku menyudahi kegiatan mengompres bahuku. Kubuang air dalam mangkuk tadi ke wastafel. Setelah itu, aku menuju kamar mandi untuk menjemur handuk yang kupakai tadi. Walau belum sepenuhnya pulih, setidaknya bahuku sekarang lebih baik. Karena hari masih siang, aku memutuskan untuk menemui Cak Damar. Aku segera mengambil ponsel dan menelpon Cak Damar. Cak Damar berkata jika hari ini dirinya sedang sibuk. Aku cemberut ketika mendengar itu. Aku menuju kasur dan membaringkan diri. Aku benar-benar tidak ada kerjaan hari ini.

Aku merasa badanku bergoyang. Kulihat Ibu sedang menggoyang-goyangkan badanku. Ibu menyuruhku untuk mandi dan lekas makan malam. Aku bangun dan segera menuju kamar mandi. Selesai mandi dan berpakaian, aku menuju meja makan. Kulihat telur krispi yang sudah tersaji di atas meja makan.

"Bu, besok ada siaran pers untuk apa?"

"Entahlah, Ibu juga ndak tau."

"Apakah penyuluhan tentang senjata rancangan Citra?"

KATHAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang