Bagian 21: Tunas Muda yang Patah

64 33 8
                                    

Aku mendengar suara Bu Sri melalui speaker dalam rumah. Bu Sri memanggil namaku berulang-ulang dengan panik. Aku dan Ibu menuju pintu depan untuk menemui Bu Sri. Kulihat wajah Bu Sri yang bermandikan keringat. Napasnya tak beraturan, matanya terbuka lebar-lebar.

"Ada apa, Tante Sri?" tanyaku dengan jantung berdebar.

"Gus, Diah hilang!" seru Bu Sri.

Sekujur badanku seketika menjadi kaku. Aku tidak percaya dengan apa yang dikatakan Bu Sri barusan.

"Astaga! Kapan dia hilang?" tanya Ibu dengan panik.

"Sepertinya pagi ini dia hilang," jawab Bu Sri.

Tiba-tiba, Pak Tirta menemui kami bertiga. Napasnya sedikit terengah-engah. Mungkin Pak Tirta berlari saat menuju rumahku. Kondisinya juga kurang lebih sama dengan Bu Sri.

"Bu Sri, bisa jelaskan kepada kami kronologi hilangnya Diah?" tanya Ibu.

"Saya tidak melihat Diah pagi ini. Saat masuk kamarnya, saya tidak mendapati Diah," jawab Bu Sri.

"Tadi malam kami sempat bertengkar kecil. Mungkin, larangan saya yang menyebabkan Diah kabur," tambah Pak Tirta sembari melirik ke bawah.

"Kalian bertengkar karena apa?" tanya Ibu lagi.

"Saya melarang Diah untuk mengunjungi lantai 41 hari ini," jawab Pak Tirta.

"Diah itu punya rasa penasaran yang tinggi. Semakin dilarang, semakin besar rasa penasarannya," ucapku.

Bu Sri menggoyang-goyangkan pundak Pak Tirta dengan kasar. "Saya ndak ingin Diah kenapa-kenapa. Pak, aku harus gimana? Anak kita hilang, Pak!" seru Bu Sri.

"Kami akan bantu untuk menemukan Diah," kata Ibu sambil menenangkan Bu Sri.

Selesai mendengar kesaksian dari Bu Sri dan Pak Tirta, kami bergegas menuju lift. Saat ini, keberadaan Diah lebih penting dari pada semua ayam dalam peternakanku. Pak Tirta juga ikut bersama kami untuk mencari Diah. Aku coba menelpon Diah dalam perjalanan ke lift. AI operator berkata bila nomor yang aku tuju tidak dapat dihubungi. Aku juga menelpon Adit dan Filindo perihal hilangnya Diah. Sayangnya, aku juga tidak bisa menghubungi mereka berdua. Setelah itu, aku memberitahukan Ibu dan Pak Tirta bila aku tidak dapat menghubungi mereka semua.

Tujuan kami hanya satu, yaitu lantai 41. Sesampainya di depan lift, Pak Tirta mengusulkan agar kami berpencar untuk mencari Diah. Setibanya di lantai 41, kami langsung turun dan berpencar. Aku melihat banyak petugas dari divisi keamanan yang sedang mondar-mandir. Mereka pasti sedang berjaga-jaga dari serangan teroris yang mungkin akan menyerang. Tempat pertama yang terpikirkan ketika aku sampai di sini adalah kedai Bu Lastri. Saat sampai, aku tidak melihat Diah di antara pelanggan yang duduk di depan kedai. Tiba-tiba, tanganku ditarik oleh seseorang. Aku terkejut, ternyata Diah yang menarik tanganku. Diah menyeretku sampai di dekat lift selatan pertama. Jarak kami dari lift ada sekitar sepuluh meter.

Aku mencengkeram kedua pundak Diah sembari melotot ke arahnya. "Hei, saat ini Tante Sri dan Om Tirta sedang mencemaskanmu!" keluhku sembari menahan emosi.

Diah melepaskan cengkeraman pundaknya. "Abaikan sebentar tentang kedua orang tuaku. Tadi kamu naik lift yang mana?" tanya Diah dengan serius.

"Lift selatan kedua," jawabku.

"Apa mungkin jebakannya ada di lift selatan pertama?" tanya Diah sambil melirik ke atas.

"Ada apa? Apa yang membuatmu gusar?" tanyaku balik.

"Aku punya teori jika kotak yang berisi mayat manusia yang dimaksud pamanmu adalah lift," jawab Diah sambil melihat wajahku.

"Hei–"

KATHAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang