Bagian 18: Tarian Masal Dewa Petir

64 33 4
                                    

Aku membuka mata dan bangun. Ternyata aku tadi ketiduran. Perutku berbunyi, itu tandanya tubuh butuh asupan makanan secepatnya. Kemudian, aku berjalan ke meja makan untuk makan malam. Kulihat Ibu yang sedang duduk di meja makan sambil mengasah pisau lipat. Selain itu, sudah tersedia sepiring telur goreng untuk makan malamku. Ibu berhenti mengasah pisau dan menyuruhku untuk duduk di sebelahnya.

"Ibu dapat kabar dari Citra bila besok teroris akan merencanakan sesuatu," kata Ibu.

"Iya, kami dapat informasi itu dari Pak Heri," imbuhku.

"Bawalah pisau ini untuk jaga-jaga besok. Walaupun Ibu ragu bila mereka akan melakukan penyerangan secara terang-terangan," ucap Ibu sambil memberikan sebuah pisau.

"Banyak petugas dari divisi keamanan yang berjaga di lantai 90. Tidak mungkin juga mereka memasukkan suntik ke kursi karena tidak ada busa di kursi pentas kali ini."

"Setidaknya kamu ada senjata bila terjadi kemungkinan terburuk."

Selesai makan malam, aku mencuci piring di wastafel. Lalu, aku membantu Ibu untuk mengasah satu pisau lagi. Selesai mengasah pisau, aku pergi ke kasur untuk beristirahat. Aku berharap jika pentas seni besok berjalan dengan lancar dan tanpa musibah apa pun.

Aku bangun dengan penuh semangat pagi ini. Acara pentas seni di lantai 90 akhirnya tiba juga. Aku bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Selesai mandi dan berpakaian, aku berjalan menuju dapur untuk sarapan. Kulihat dua piring ayam goreng sudah tersaji di meja makan. Selain itu, dua buah pisau yang nantinya menjadi senjata rahasia kami juga sudah siap. Selesai sarapan, kami pergi ke lift. Kami berjumpa dengan keluarga Diah dalam perjalanan.

"Pagi semuanya," salamku ke keluarga Diah.

"Pagi juga," jawab mereka kompak.

"Tante Sri, ndak jualan di lantai 90?" tanyaku ke Bu Sri.

"Besok, Gus. Hari ini kami sekeluarga ingin menikmati pentas seni dulu," jawab Bu Sri.

"Gus, besok kalau nganggur bantuin aku," sahut Diah sambil menekukkan alis.

Pak Tirta seketika menyenggol Diah. "Hus! Kamu ini!" sahut Pak Tirta.

"Ndak apa kok, Om. Besok pasti juga ramai," balasku santai.

"Makasih, Gus," ucap Bu Sri sambil tersenyum tipis.

Bu Sri mencubit pipi Diah, entah karena malu atau kesal dengan ucapan Diah tadi. Sesampainya di lift, kami melihat banyak orang yang sudah mengantre. Pentas seni hari pertama memang dikhususkan untuk penduduk pada lantai 71 sampai 79. Lift tiba, kami masuk bersama-sama. Lift yang kami naiki langsung menuju lantai 90. Lift tidak akan berhenti di lantai berikutnya saat pentas seni karena lift selalu penuh setiap mengangkut semua orang dari satu lantai. Sesampainya di lantai 90, kami semua turun di lantai ini.

Setelah turun dari lift, kami disuguhkan dengan pemandangan para pedagang yang memenuhi daerah sebelum panggung. Pemandangan ini sangat mirip seperti pasar di lantai 40-an. Aku lihat hanya setengahnya saja yang diisi oleh pedagang karena bagian yang lain akan dibuka pada hari selanjutnya.

Kami semua langsung membuat antrean untuk masuk ke dalam area pentas seni. Aku melihat sebuah alat berbentuk kosen pintu dari kejauhan. Bu Sri berkata bila tahun ini ada pencatatan ulang untuk pendataan penduduk. Hal-hal yang akan dicatat meliputi sidik jari, wajah, dan iris mata. Setelah pendataan kami semua selesai, aku dan Diah berpisah dengan Ibu, Bu Sri, dan Pak Tirta. Aku dan Diah berkeliling untuk mencari camilan yang nanti akan kami nikmati saat pentas seni dimulai. Ibu, Bu Sri, dan Pak Tirta langsung menuju area panggung untuk mencari tempat duduk.

"Saatnya berburu sate. Kalau kamu mau beli apa?" tanya Diah dengan semangat.

"Entahlah, aku mungkin cari makanan ringan," jawabku setengah bingung.

KATHAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang