Epilog

78 32 19
                                    

Beberapa hari setelah kejadian di museum, Pak Margo menceritakan kejadian itu kepada seluruh penduduk dalam Flat. Mulai dari kematian seluruh anggota teroris, rencana pembantaian manusia yang tidak berguna, sampai agenda Pak Laksmana yang ingin menjual tanah ini. Lalu, Pak Margo juga melakukan eksekusi masal terhadap para petugas keamanan yang pro akan Pak Laksmana. Karena kepala Flat sudah tidak ada, dibentuklah sebuah dewan khusus untuk menjalankan pemerintahan yang baru. Agung Laksana ditunjuk menjadi perwakilan dari divisi pengumpul. Surya Santoso ditunjuk menjadi perwakilan dari divisi peternak. Sri Asih ditunjuk menjadi perwakilan dari divisi pekebun. Sekar Arum ditunjuk menjadi perwakilan dari divisi pekerja produk energi. Ririn Handayani ditunjuk menjadi perwakilan dari divisi pekerja produk sintetis. Waluyo Raharjo ditunjuk menjadi perwakilan dari divisi kesehatan. Serta, Satya Piningit ditunjuk menjadi perwakilan dari divisi keamanan.

Pembahasan pertama dari para dewan ini adalah soal kelanjutan umat manusia yang ada dalam Flat. Pak Surya mengusulkan sebuah program untuk membenahi lingkungan luar agar suatu saat nanti lingkungan luar Flat bisa dihuni. Para dewan sepakat untuk melakukan rencana dari Pak Surya. Tak lama setelah pembahasan itu, para dewan membuat pengumuman untuk masyarakat dalam Flat. Program yang diusulkan Pak Surya akan dilaksanakan pada tahun depan.

Bagaimana denganku? Aku tetap menjadi peternak ayam biasa. Agenda harianku juga tidak berubah. Tapi, ada tambahan agenda dalam beberapa hari terakhir. Tiap pulang dari berjualan telur, aku selalu menuju rumah sakit untuk mengunjungi Citra. Tidak lupa, aku juga selalu membawakan makanan kesukaan Citra tiap kali aku berkunjung.

Aku membuka pintu ruangan di mana Citra dirawat. Kulihat Citra yang sedang duduk di pinggir kasur. Pandangannya kosong, ada bekas air mata yang mengering di pipinya. Selain itu, di sekitar mata Citra terlihat kehitaman. Setelah masuk, aku meletakkan box telur dan menanggalkan tas yang kupakai. Aku juga meletakkan ayam tepung yang kubeli tadi di atas laci.

"Halo, Cit. Gimana kabarmu?"

Kulihat Citra tak menghiraukan sapaanku.

"Aku bawain ayam tepung kesukaanmu, loh."

Citra tetap tak mengindahkanku untuk kedua kalinya.

"Aku sampai kelupaan. Bentar, ya, aku pasangkan bando milikmu."

Aku membuka tas dan mengeluarkan speaker yang biasa digunakan Citra. Kuletakkan speaker itu di atas laci. Lalu, aku merogoh tasku lagi untuk mencari bando. Setelah itu, aku memasangkan bando itu ke kepala Citra.

"Bapak ... Bapak ... Bapak ...."

Aku mencopot bando yang tadi kupasangkan pada kepala Citra. Lalu aku menempelkan keningku ke kening Citra.

"Maafkan aku. Maafkan perbuatanku waktu itu," ucapku seraya menutup mata rapat-rapat.

Dadaku terasa sesak setiap kali Citra mengatakan kata Bapak. Walau sudah dirawat beberapa minggu di sini, Citra tidak menunjukkan adanya perubahan. Aku keluar dari ruangan Citra. Aku berjalan meninggalkan rumah sakit dan menuju ke lift. Rasa putus asa membebani kedua kakiku. Tak berselang lama, lift tiba di lantai ini. Aku masuk lift dan turun di lantai 71. Aku melanjutkan perjalanan sampai di rumah. Ketika masuk, aku tidak menemui Ibu dalam rumah.

Aku mengeluarkan ponsel yang ada dalam saku. Kemudian, aku membuat sebuah memo. Aku mengetikkan rasa terima kasihku kepada Ibu, Bu Sri, dan juga Pak Tirta karena sudah merawatku dari kecil. Aku juga mengetikkan rasa terima kasih kepada Filindo karena sudah mau berteman denganku sejak bersekolah di pendidikan dasar. Aku lanjut mengetikkan rasa terima kasih kepada Adit yang sudah berjasa dalam membantuku berjualan telur selama setahun lebih. Tak lupa, aku mengetikkan rasa syukur karena pernah berjumpa dengan Citra, seorang gadis hebat walau dengan keterbatasan. Terakhir, aku juga mengetikkan penyesalanku karena sudah membuat bapak Citra terbunuh.

Selesai mengetik, aku mengambil pisau dapur dan kain lap. Aku meletakkan kedua benda itu di atas meja makan sebelum mulai duduk. Aku melipat dan menggulung kain lap hingga berbentuk seperti lemper. Kemudian, aku menggigit kain itu. Setelah itu, aku menggenggam pisau dan mengarahkannya ke jantungku. Aku menancapkan pisau itu sedalam mungkin. Aku mengerang sambil menggigit kain lap dengan sekuat tenaga. Rasa sakitnya bukan main-main. Perlahan, pandanganku mulai kabur. Sebentar lagi, aku akan selesai menebus kesalahanku.

TAMAT

KATHAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang