HAECHAN hanya tertunduk lemah dengan wajah yang membiru pucat. Makanan yang diberikan padanya tidak pernah sedikitpun ia sentuh, suara cicitan tikus berlalu lalang di depan dirinya mencicipi hidangan gratis yang diperuntukkan kepada sang peri hutan yang sedang ditahan. Bukan dia tidak ingin memakan makanannya, hanya saja itu bukan makannya, dia memerlukan hal yang lain untuk tubuhnya.
Sayapnya terkulai lemah tidak mendapatkan energi juga, sayap keunguan dengan kerlap-kerlip yang cantik sekarang sedang meredup. Telinga runcingnya menegang. Ada suara langkah kaki tang didengarnya menuruni anak tangga menuju ruangannya. Perlahan namun tegas, terdengar begitu mantap saat tapak sepatunya menginjak satu per satu anak tangga.
Jeruji besi itu berderit saat didorong salah satu penjaga di sana. Haechan belum mengangkat wajahnya dia tetap memperhatikan lantai, ke arah para tikus yang berlarian saat sebuah sepatu boot berhenti tepat di depan sang peri hutan.
"Siapa namamu?" suara yang penuh ketegasan, sombong nan angkuh langsung masuk ke dalam telinga sang peri hutan. Walau hanya satu kali sang peri hutan mendengar suaranya. Dia tahu siapa pemilik suara berat itu, sang raja; Mark.
"Sudah aku katakan, aku tidak memiliki kewajiban untuk menjawab pertanyaanmu tuan, atau lebih tepatnya. Yang mulia." Haechan masih menghindari kontak mata dengan sang raja, dia hanya menatap sepatu boot hitam yang masih nampak berkilau tanpa debu walau di bawa masuk ke dalam area yang kotor seperti penjara bawah tanah..
"Jawab pertanyaanku, atau perlu aku seret rusa putih itu kehadapanmu? Atau kau hanya ingin melihat kepalanya saja?"
Sedetik kemudian Haechan mengangkat wajahnya dengan raut memerah menjalar di wajah pucatnya. Rambut keunguannya bergetar menahan keterkejutan serta amarah yang tiba-tiba saja muncul pada dirinya, lagi. Sekali lagi dia harus melihat wajah yang penuh keangkuhan itu, menatapnya dengan tatapan setajam sembilu.
"Haechan." jawabnya dengan pasrah.
Mark berjongkok di hadapan Haechan, menatap lekat wajah pucat kebiruan itu. Manik matanya bagai galaksi bertaburan bintang, jernih seperti air kolam dengan bermacam kehidupan di sana. Tercoreng oleh keteguhan dan ketakutan yang bercampur secara bersamaan.
"Apa kau perlu aku ancam agar kau menjawab pertanyaanku?" kali ini mata setajam elang itu menatap ke arah mangkuk makanan Haechan yang separuhnya sudah dimakan oleh tikus yang barusan saja ia lihat kabur.
"Tidak, yang mulia."
"Kenapa kau tidak memakan makananmu? Apa makanan ini tidak lezat? Atau makanan ini tidak membuatmu berselera?" Mark mengambil mangkuk tempat makan Haechan dan dilemparkannya ke dinding penjara, semua isinya berhamburan dengan mangkuk yang langsung pecah, tidak ada yang terkejut mendengar pecahan yang berhamburan. Haechan dan Mark masih saling tatap, yang satunya tatapan penuh intimidasi dan yang satunya tatapan lelah dengan perisai sebagai perlindungan.
"Aku tidak memakan makanan manusia, aku tidak memakan nasi dan lauk seperti itu." jawabnya dengan suasana hati yang mulai tenang.
"Lalu?"
"Kau harus membawaku keluar, ada hal lain yang dibutuhkan makhluk sepertiku. Aku berbeda dengan manusia." Haechan menatap Mark penuh harap, mata kelam itu semakin pekat dengan pupil yang membesar, "aku tidak akan kabur jika itu yang kau takutkan, yang mulia. Apa kau lupa apa yang sudah kau pasang pada kakiku ini?"
Tatap Mark beralih dari mata Haechan ke arah kaki Haechan yang terbelenggu oleh rantai dan bola besi di ujungnya.
"Kau tetap dalam pengawasanku."
Demgan rantai di kakinya, Haechan berjalan perlahan dengan Mark yang berbeda di belakng dirinya. Mengawasinya dari sana, auranya yang kuat bahkan membuat Haechan tidak berani untuk berpaling ke belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
[10] The Last Aurora Fairy
Fanfiction[COMPLETED] [Kingdom] [Legend] Sebuah kerajaan dan kastilnya dikutuk oleh roh hutan. Raja yang angkuh dan sombong diubah menjadi sosok menyeramkan dengan rasa kesepian yang sangat menyiksa. Penyelamat. Hanya dia, keturunan dari peri terakhir yang bi...