[17•] Fairy Tale 💮

3.4K 491 26
                                    

MATA tak henti menelisik jejak, sulur-sulur yang tumbuh di pepohonan bergoyang menggesek batang pohon yang ditimbuhi. Cahaya perak menghiasi malam menjadi penerang remang sang peri hutan. Desis tertahan tak henti keluar dari kedua celah bibirnya yang mengeluarkan udara dingin, mengepul menjadi awan tipis melayang sebelum hilang terbawa angin malam, kilauan sayapnya juga tambah penerangan jalan hingga tak tersesat dalam pekat yang menutupi mata berkidung teduh dengan taburan kilauan di atas.

Haechan nampak berhenti, menyembunyikan tubuh dalam balik pohon terdekat. Kakinya dia daratkan pada tanah, terasa basah terkena embun malam yang mulai turun. Basahi beberapa daun dan juga semak-semak yang tumbuh rendah. Suara hewan malam juga jelas terdengar menyembunyikan gemericik kecil yang ditimbulkan kaki Haechan yang injak beberapa daun kering tak bertuan, entah itu daun kering dari pohon tempatnya sembunyi atau bahkan dedaunan yang diterbangkan dari pohon yang lain.

Sang peri hutan menyembulkan kepala, menelisik dari jauh kegiatan empat orang yang cukup mencurigakan. Dari kejauhan Haechan dapat melihat beberapa lentera yang menyala di sekitar galian, dengan Kun dan Hendery berada di atas. Nampak wajah penuh dengan tanah yang seperti separuh menutupi wajah rupawan mereka, begitupun dengan baju yang dikenakan sudah tertutup tanah basah hingga warna tenggelam dengan warna coklat. Di bagian bawah ada dua kepala yang tengah bergerak yang Haechan tau adalah Yuta serta sang raja; Mark. Sesekali alat galian terangkat dan terhantam ke bawah menancap dengan setumpuk tanah yang naik ke permukaan.

Galian itu amat panjang mungkin sudah melewati setengah bagian hutan. Haechan masih tak tahu apa yang sedang dilakukan, dengan beberapa langkah mundur sang peri hutan mendongak menatap kidung yang tak nampak karena pohon-pohon yang tumbuh menjulang, membuat cahaya perak hanya bisa menyelip di beberapa dahan pohon yang berjarak. Dengan hati-hati Haechan mengepakkan sayap, terbang ke atas lewati beberapa dahan dan ranting sebelum benar-benar menembus perisai hutan.

Terbang dengan stabil, Haechan menatap ke bawah mencoba untuk tak terlihat oleh empat orang yang masih menunduk melakukan pekerjaannya, perlahan Haechan maju dengan analisis mengikuti jalur yang akan dilalui oleh galian yang sedang di buat. Tak peduli angin yang terasa lebih dingi di atas udara hampa tak urungkan niat sang peri hutan untuk terus maju, hingga sekitar satu kilometer dia dapat melihat sebuah pedesaan. Desa yang cukup jauh dari lokasi istana milik Mark, di pinggiran hutan dengan iris mata yang cerah dapat Haechan lihat satu buah bendungan yang dalam keadaan kering. Pada saat itu hati milik sang peri hutan hampir beku atau meleleh karena perasaan yang amat membuatnya hangat.

"Apa mereka berencana mengalirkan air danau ke bendungan itu? Apa cukup?" pikir Haechan pada diri sendiri, ia kembali mendongak menatap bulan perak yang bulat tak sempurna, di bagian kiri terdapat cekungan. Itu berarti bulan baru akan datang, "aku akan kembali." Haechan membalik laju terbang.

Sayapnya dikepak halus mengikuti angin yang melewati sela-sela sayapnya yang membentang, menunduk dan kembali membentang menopang tubuh agar tetap di atas udara. Tepat saat dia melihat cahaya lentera tempat keempat orang itu berada, perlahan ia menurunkan diri. Kembali pada tempat semula dia bersembunyi, sayapnya diturunkan rendah melewati ranting dan daha.

Namun apa yang di dapat, iris cerahnya seketika melebar saat dilihatnya satu anak panah melesat ke arahnya. Satu dengan kecepatan yang tidak dapat dihindari, Haechan memalingkan wajah tapi sayang telinganya yang runcing terkena hingga menciptakan luka robek di sana.

"Jangan sampai cacat!" terdengar teriakan dari bawah, dan satu anak panah melesat kembali pada Haechan. Kali ini bahunya terkena, dan sayap bagian belakang di dekat punggung juga terkena anak panah hingga tergores.

Keseimbangan sang peri hutan hilang sudah. Ia menukik tajam ke bawah dengan posisi menantang sang bumi. Kedua tangannya dia lipat, melindungi wajah dengan sayap yang di lipat agar tak semakin robek saat tubuh itu menghantam ranting dan dahan yang ia terjang. Tubuhnya menghantam tanah dengan keras, suara retakan dapat dia dengar. Bahkan dengan deru nafas sendiri yang memburu. Untuk mengangkat kepala saja Haechan tak mampu, seluruh tubuhnya merasakan nyeri dan sakit yang teramat. Kepalanya berdentum dan suara-suara yang melingkupi dirinya bergaung di dalam telinga menambah pikiran yang linglung menjadi lebih laju menuju ketidaksadaran.

[10] The Last Aurora FairyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang