[22•] Fairy Tale 💮

3.2K 512 43
                                    

DENGAN kepala mendongak Mark menatap bola raksasa jingga yang mulai naik dan bertahta pada langit biru di ufuk timur, semuanya nampak cerah dengan seonggok daging empedu yang bertumpuk di dalam dada. Rasa ini lebih menyedihkan daripada luka yang bersarang di tubuhnya kali ini. Hanya karena sebuah bacaan yang baru saja ia ketahui kebenarannya. Mark ingin mengubah seluruh tulisan di dalam sana, namun ia tak bisa. Tak akan mampu, bahkan dengan dirinya yang sekarang.

"Seharusnya aku menghilang dengan keadaaan tak tahu apa-apa dan membiarkan kebencian serta keburukan pada hatiku, bahkan tanpa harus bertemu denganmu. Aku terasa ditikam beribu-ribu anak panah dari langit tempatku berteduh." rambut kusam Mark bergoyang pelan begitupun dengan kelopak-kelopak bunga peony yang menari meliuk mengikuti arah angin yang membelai tangkai-tangkai mereka yang kurus.

Angin bertiup selayaknya semakin cepat dengan pusaran yang melingkup dari ujung sepatu yang dikenakan sang raja tapi Mark tak terpengaruh sedikitpun. Angin itu lagi, angina pada malam itu dan angina yang membawanya bertemu dengan Haechan, kali ini dia dating lagi. Terasa dingin menyejukkan, ini akan menjadi sebuah pertanda. Lagi. Kali ini Mark tak memberontak sama sekali, biarkan angin itu melahap tubuhnya.

"Selamat pagi yang mulia," suara asing namun terasa familier masuk ke dalam gendang telinganya, bergaung di dalam sana berputar-putar seperti para lebah yang berdengung di atas kelopak bunga mencari makan. Mark diam tak menjawab, membiarkan suara itu kembali melanjutkan kalimatnya.

"Kenapa kau memasang wajah seperti itu yang mulia? Tidakkah kau harus merasa senang karena menemukan obat atas kutukan itu? Kenapa sekarang nampak seperti itu? Ekspresi wajah yang terasa kaku." suara kembali menyaut, dengan nada embut tak seperti terakhir kali Mark dengan seratus tahun lalu, mungkin. Suara yang penuh amarah waktu itu, mengutuk dirinya hingga saat ini. Berakhir dengan menyedihkan.

"Sepertinya aku tak perlu memberitahumu apa yang membuatku seperti, aku yakin kau mengawasi dengan baik. Bukankah kau sendiri yang mempertemukanku dengannya." Wajah Mark terunduk, menatapujung sepatu yang dipenuhi dengan tanah kering, sepatu yang dikenakannya tadi malam dan belum dibersihkan.

Angin masih bertiup melingkupi tubuhnya dan Mark tak beranjak satu langkah pun.

"Maafkan aku, jika pertemuanmu dengan Haechan bukan kehendakku akan hal itu, itu adalah kehendak dari para dewa-dewa dan aku hanya peratara antara kalian. Aku hanya penjaga hutan dan melindungi apa yang sepatutnya dilidungi. Jika kau memang sudah mengetahui isi buku itu, maka yang tertulis di sana adalah sebuah kebenaran. Dan kau tahu apa selanjutnya?" tanyanya pada Mark yang masih terdiam, mengingat isi dari sebuah buku yang didapatkannya pada hutan rahasia tempat tinggal sang peri hutan.

"Apa?" Mark bertanya dengan nada yang tak terlalu minat, dia tahu pasti ada hal buruk yang akan dia ketahui selanjutnya.

"Pedangmu, pedang dengan kekuatan sihir yang melindunginya. Kau harus menggunakan itu." angin bertiup kencang dengan beberapa kelpak bunga peony yang ikut diterbangkan sebelum terbelah di udara hampa tepat di atas kepala sang raja.

Hati Mark tiba-tiba berdenyut terasa diremas sangat kuat, matanya membulat sempurna dengan lutut yang sudah bertumpu pada tanah. Nafasnya menderu dengan cepat mencoba memasok oksigen yang banyak menuju paru-paru yang terasa kering, kenyataan apa lagi ini. Dia menatap ke arah pinggangnya, dimana pedang itu bertengger di sabuk yang menjaga celananya, pedang dengan kekuatan sihir yang dimiliki entah sejak kapan, pedang yang pernah melepaskan Haechan dari belenggu rantai yang pernah menahan sang peri hutan.

"AARRGGGHHH!" Mark berteriak sekencang mungkin, bergema di halaman belakang istana membuat beberapa burung yang diam di atas ranting pepohonan berterbangan mendengar teriakan dari sang raja yang terdengar pilu, Mark meremas kain yang membungkus dadanya hingga hamir terkoyak dibuatnya. Tangannya mengepal kuat dengan buku-buku tangan yang nampak memutih, mata kelamnya tertutup sempuran. Pikirannya berkecamuk dengan perasaan yang mendukung ebih dari apapun, rasanya sungguh menyiksa.

[10] The Last Aurora FairyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang