[29•] Fairy Tale 💮

3K 417 37
                                    

WAJAHNYA terasa ada yang menggelitik, membelai dengan lembut dari ujung-ujung yang sedikit tajam. Sang peri hutan; Haechan membuka matanya perlahan saat kantuk yang dirasakannya perlahan menghilang. Tubuhnya masih terasa lemah karena kekuatan belum terkumpul sempurna, dengan enggan dia membuka mata menatap beberapa tupai di depan dirinya. Satu, dua, ada tiga ekor yang tengah menatapnya begitu gelisah. Menunggu untuk ia bangun. Kepala mereka dimiringkan ke kiri dan ke kanan, berkedip beberapa kali dengan ekor melengkung ke belakang.

DEG!

Jantung Haechan satu kali berdetak kencang. Matanya yang kelabu keunguan bergetar, bukan ranjang kamar kusam seperti biasa tempat ia terbangun. Melainkan di hamparan kehijauan rumput basah di tengah huta. Ia segera bangun dari tidurnya terduduk dengan wajah tak tahu apa-apa. Pandangannya memindai, jamur-jamur berbahaya dengan berbagai warna menerangi sebagai hutan yang amat dikenalnya.

Hutan rahasia.

"Mark____" ucapnya lirih, ia mendongak. Menatap pohon inti kehidupan dari hutan tempat ia tinggal, masih bercahaya sengan bunga-bunga yang tumbuh di atasnya. Tangannya menggenggam rerumputan di atas tanah, mengoyaknya hingga layu disekitar tangannya. Ia kembali mengedarkan kepalanya, tak salah lagi. Dia tak berada di dalam istana.

Langkah terdengar di samping dirinya. Terdengar begitu renyah karena rerumputan yang diinjak, Haechan teralihkan. Menatap satu buah kijang berbulu coklat cerah dengan satu ikat bunga mawar yang dibawanya di mulut, digigit dengan hati-hati agar tak mengoyak batang dari sang bunga, wajah sang kijang juga tak kalah sendu. Ia melangkah semakin dekat, berhenti di depan sang peri hutan sebelum menunduk melepaskan seikat bungan yang dibawa menggunakan mulutnya. Bunga mawar merah yang begitu indah, tangkainya sedikit terurai. Terlihat dipetik dengan tergesa-gesa.

Dada Haechan semakin bergemuruh keras.

"Mark apakah kau?" tangan lentiknya mengambil sang mawar membawanya pada tangannya untuk ditatap, ia ingat akan inginnya pada sang raja. Haechan menangis tanpa ia sadari, beberapa tetesnya bahkan jatus di kelopak mawar sepekat darah itu. Darah, aroma darah menyeruak. Kesadarannya kini sudah terangkat dengan sempurna. Kekhawatirannya terhadap sang raja memuncak.

Mawarnya ia lepaskan di samping tubuh, tungkainya yang masih lemas dipaksanya untuk berdiri di atas tanah. Baru saja telapak kakinya dapat menyanggah tubuh kecilnya, bayang-bayang terlihat di depan mata. Keseimbangannya tak dapat ia jaga.

Haechan ambruk.

"Sssshh___kenapa?" tubuhnya sedikit butuh tenaga, saat ia berfokus. Tiba-tiba saja ia rasakan rasa nyeri pada punggungnya, di kedua sisi, tepat pada tulangnya terasa patah. Amat sakit dan Haechan baru menyadarinya, tangannya dibawa untuk menyentuh sudut punggungnya. Saat dirasakannya telapak tangan menyentuh sesuatu yang basah, saat dilihatnya kembali tangan miliknya. Haechan bergetar.

Darah. Darah semerah kelopak mawar miliknya. Malam semakin gelap terasa, bahkan pendar cahaya yang bewarna warni terlihat kelabu menyiksa mata. Sayapnya dipotong paksa, ia kini tak memiliki sayap untuk membawa tubuhnya melayang. Haechan meraung, dalam kalutnya suasana hati membuatnya mendapatkan tenaga begitu saja. Dipaksanya kembali kaki untuk berdiri.

Air matanya semakin deras bercucuran meleleh di pipinya yang tembam membentuk garis kesedihan yang tergambar begitu jelas. Para hewan yang tadi ikut cemas mengikuti langkah Haechan yang sempoyongan, ia berlari kecil menuju cermin penghubung antara hutan rahasia dan juga istana milik Mark.

Haechan berhenti.

"Tidak, tidak. Tidak!" Haechan berjalan perlahan, ditatapnya serpihan kaca yang berserakan di atas tanah. Cermin itu sudah remuk menjadi potongan-potongan kecil. Kini jalan pintasnya menuju istana telah hancur.

[10] The Last Aurora FairyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang