Walaupun sudah tahu menyakitkan, kenapa tetap ingin kebersamaannya?
Kak Nadia mengajakku untuk ikut saat dia dan Mas Alshad fitting baju lamaran mereka. Sudah pastilah pertunangan mereka akan di gelar mewah. Sebab ke dua belah pihak keluarga hanya memiliki satu-satunya putra.
Mas Alshad adalah anak tunggal, sedang Mbak Nadia pun sama tunggalnya, sama sepertiku. Kami bertiga seperti saudara yang beda orang tua.
Sebelum mengenal Mbak Nadia, mas Alshad hanya memiliki aku sebagai adik perempuannya. Namun setelah aku bersahabat dengan Mbak Nadia, dia pun menambahkan satu adik perempuannya.
Jika di tanya, apakah hanya mbak Nadia saja sahabatku? Maka jawabku 'Iya'. Aku banyak teman sebaya, aku banyak kenalan juga. Tapi yang benar mengerti aku, dan membuat aku nyaman hanya Mbak Nadia. Barangkali karena umurku terpaut tiga tahu lebih muda. Saat aku sudah memiliki kakak laki-laki seperti mas Alshad, maka mungkin aku nyaman menjadikan mbak Nadia, sebagai pengganti sosok kakak perempuan.
Pertemuan pertama kami ada gang dekat sekolah. Sewaktu SMP, saat itu jam pulang sekolah. Di mana jarang sekali aku menunggu lama, sebab Mas Alshad pasti menjemputku tepat waktu. Tetapi saat itu, aku cukup lama menunggu dirinya. Sampai sekolah sepi bahkan pak satpam sudah menutup gerbangnya.
Satpam sekolah memintaku menunggu di gardu tempat mereka. Tapi aku menolak, beralasan jika yang menjemput aku tidak akan menemukan aku nantinya. Malah mengira aku sudah pulang nantinya.
Saat itu seorang siswa-siswi tidaklah boleh membawa ponsel atau barang elektronik lainya. Tidak seperti jaman sekarang. Jadi selain menunggu tidak ada lagi yang bisa aku lakukan.
Sudah satu jam lebih aku menunggu. Masih tidak ada tanda-tanda kedatangan Mas Alshad. Akhirnya aku memutuskan untuk berjalan kali. Ke arah jalan raya. Aku putuskan untuk mencari tumpangan. Padahal aku juga tidak tahu, cukup memiliki keberanian atau tidak nantinya untuk meminta tumpangan.
Uang saku ku masih ada, tapi sayangnya angkot di jam tiga sore sudah tidak melintas di kawasan sekolah kami. Sebab mereka telah di tumpangi siswa-siswi sejak sejam tadi.
Tidak ada kendaraan lainya. Kecuali pengendara umum.
Jalan menuju jalan raya cukup jauh. Sebab sekolahku memang berada di gang yang jauh dari jalan raya. Di tengah-tengah perumahan.
Langkah kakiku saat itu amatlah pelan. Sambil mendumel sebab Mas Alshad tidak menjemput, bahkan sama sekali tidak memberikan kabar. Orang tuaku pun sangat mempercayai Mas Alshad, jadi meskipun aku pulang telat mereka tidak akan curiga. Percaya, bahwa Mas Alshad sudah menjemput ku. Jika telat pun mungkin sudah bersamanya saat itu.
Ah! Jika mengingat waktu itu pastilah aku ingin sekali mengumpat Mas Alshad. Dia benar-benar tidak bisa di andalkan saat itu.
Sebab tanpa di duga. Ada dua anak SMA menghadang jalanku. Mereka menaiki motor ugal-ugalan. Membuatku takut, sebab mereka mengelilingi ku dengan montornya.
"Gadis cantik, ayo pulang bersama kami!'' seru salah satu dari yang sedang ada di bonceng belakang. Sedang yang mengendalikan motor, menutupi wajahnya dengan topi hitam. Meskipun begitu, senyum menakutkan dari bibirnya membuat ku takut.
Mereka masih pelajar SMA, tapi tingkah lakunya sudah seperti preman. Memakai pakaian seragamnya saja berantakan sekali ada.
Masih ingat betul aku ketakutan ku saat itu. Apalagi di gang sepi dan tanpa penghuni. Aku berusaha lari, menghindari mereka. Tapi sebab ketakutan yang besar, tubuhku gemetaran hingga membuatku terhuyung-huyung tak berdaya.
Mereka tetap mengikuti langkah kakiku meski aku sudah pergi dari lingkaran mereka.
"Kenapa lari? Ayo, ikut bersama kami?!" Seru orang yang sama.
Mereka berhasil menangkap tanganku. Mengcekram tanganku kuat. Tubuhku sudah basah akan air keringat, mataku sudah sembab oleh air mata. Terisak keras pun rasanya percuma. Sebab gang itu sama sekali tidak berpenghuni.
Keduanya turun dari motor. Semakin menghimpit ku dalam pembatas jalan. Mereka tertawa liar seakan aku adalah mangsa yang siap mereka terkam.
"Di sini atau di tempat lain?" tanya orang yang sejak tadi diam. Aku tak berani menatapnya. Mereka menyeramkan. Tubuhku gemetar keras sebab himpitan mereka yang semakin dekat.
"Sepertinya sepi, terserah kau sajalah!"
Aku meronta ketakutan. Tapi mereka semakin mengeraskan tawanya. Meminta mereka pergi namun percuma saja.
Tangan salah satu dari mereka sudah akan meraih pundak ku. Hingga tiba-tiba seseorang memukul pundak mereka hampir bersamaan.
Brukk
Keduanya ambruk, saat itulah pertama kalinya aku melihat Mbak Nadia. Dia membawa balok kayu yang entah dari mana asalnya.
"Ayo! Lari!" Serunya dengan menarik tanganku. Aku pun langsung mengikuti ritme langkah kakinya yang saat itu aku anggap seorang pahlawan. Iya dia menyelamatkan aku, dari sesuatu yang mungkin tidak akan bisa aku lupakan.
Setelah hari itu, aku dan Mbak Nadia berteman, bersahabat dan sampai sekarang. Mungkin sebab hal itu juga aku tidak bisa menolak apapun yang menjadi permintaannya. Aku berhutang nyawa. Aku berhutang kehormatan. Jika dia tidak datang bahkan telat satu menit saja, mungkin saat ini aku sudah tidak mampu melihat dunia.
"Nimas? Bagaimana dengan ini?" tanya Mbak Nadia. Dia memperlihatkan satu brokat tile bertabur mutiara berwarna tosca muda. Cantik, mempesona. Apalagi saat di padukan oleh kulit putih miliknya.
"Cantik. Aku juga suka," balasku dengan tersenyum bangga.
Sejak tadi aku duduk menunggu ke dua calon pengantin tersebut memilih kain untuk pertunangan mereka.
Kedua begitu semangat. Kebahagiaan menyertai mereka. Hari-hari ini akan datang nantinya. Aku harus ikut bahagia, meskipun dalam hatiku sangat terpaksa.
Mereka berdiskusi tentang warna apa yang akan di pilih. Harus mencocokkan juga dengan kain batik yang akan di gunakan Mas Alshad. Setelah hampir dua jam-an, mereka baru memutuskan warna tosca muda yang tadilah yang menjadi pilihan terakhir mereka.
"Berapa meter, kak? Jika untuk abaya full badan tiga meter cukup, kak." Tanya karyawati yang akan memotong kain tersebut.
"Enam, ya kak." Jawab Mbak Nadia
"Banyak sekali?" tanya Mas Alshad.
Aku juga tidak tahu, untuk apa kain sebanyak itu. Barangkali sekalian untuk ibunya.
"Sekalian sama Nimas," jawab Mbak Nadia.
Aku terkejut.
"Gak usah! Aku beli sendiri nanti," tolak ku.
"Kenapa? Biasanya juga kita berseragam," tanya Mbak Nadia.
Aku menghela nafas. Kenapa harus menjelaskan juga.
"Kalian akan bertunangan kali ini. Aku tidak apa-apa, jika harus sekali tidak couple-an dengan kalian," kataku.
"Iya, Nadia. Akan aneh jika kita couple-an bertiga. Nanti malah orang-orang mengira aku tunangan dengan kalian berdua," sahut Mas Alshad.
Dia mengatakan hal yang benar. Tapi itu cukup dalam menyakitkan hatiku. Aku harus terbiasa sekarang. Jika Mas Alshad lebih memprioritaskan Mbak Nadia. Kamu bisa , Nimas. Kamu kuat!
"Aku akan memilih kain lainya nanti. Tidak apa-apa," kataku meyakinkan Mbak Nada yang seakan masih berharap kita bisa couple-an bertiga.
"Ya sudah kalau begitu. Sekarang pilihlah kain mana yang akan kamu pilih. Sekalian kita ke penjahit setelah ini," kata Mbak Nadia.
Aku tersenyum. Lalu beranjak dari dudukku. Mulai memilih beberapa motif kain di toko textile tersebut.
Malas rasanya. Tapi, demi membuat mereka senang aku menurutinya.
Saat aku memilih salah satu kain brokat tile berwarna coklat tua. Dari kaca depan ku aku melihat Mas Alshad menggelengkan kepalanya sedikit sambil menampakkan wajah cemberutnya ke arahku. Dia tidak setuju jika aku memilih brokat itu. Aku faham. Lalu meletakkan brokat itu. Mulai memilih kain lainya.
Duh! Ya Rabb, engkau yang menguasai hatiku. Aku mohon! Jaga dia agar tidak menyakiti siapapun nantinya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Undesirable (On Going)
RomanceNimas Khirun Nisa, gadis yang telah menyimpan perasa terhadap kakak sepupunya_Alshad selama bertahun-tahun. Dia tidak memberitahukan perasaannya itu kepada siapapun. Diam itu membuat dia mengalami patah hati yang cukup dalam. Sebab dia harus menerim...