Sarapan Pertama Kami

14 1 1
                                    

{Hidup itu simpel, carilah yang membuatmu bahagia. Tinggalkan apa yang menyesakkan jiwa}

.
.
.

"Apa-apaan ini Reyhan? Darimana kamu tahu alamat rumahku?" Protesku.

Aku meluapkan keterkejutanku setelah kami di tengah perjalanan.

"Gampang itu, Nimas. Aku meminta alamat kakak sepupumu pada staf kantor papa."

"Bisa-bisanya, kamu memikirkan hal itu."

Aku masih tidak menyangka dengan perbuatan Reyhan tadi.

"Sebagai calon yang baik. Seharusnya memang seperti itu, kan? Mengetahui semua hal tentang calon istrinya."

"Hahaha... Risih sekali aku mendengarnya,"

"Kenapa kamu mencegahku untuk mengungkapkan status kita pada ibumu tadi?"

"Jangan bercanda. Tidak baik, nanti kalau tiba-tiba ada yang terluka bagaimana?"

"Siapa yang akan terluka? Aku atau kamu? Hakikatnya kita berdua satu. Jika ada sebuah komitmen, pastilah keduanya akan merasakan rasa yang sama. Jika kamu bahagia, aku pun ikut bahagia. Jika kamu terluka, aku pun ikut terluka."

Aku menatap wajah Reyhan. Sulit sekali mematahkan argumennya.

"Rey... Andai kamu memiliki orang yang kamu cintai. Tapi, dia tidak bisa kamu miliki. Apa yang akan kamu lakukan?"

"Melepaskan," jawab tanpa menunggu sedikit pun untuk dia pikirkan.

Ah! Mudah sekali dia menjawabnya. Mungkin dia tidak merasakan.

"Aku memilih pamit, memilih untuk tidak terlibat jauh di cerita hidupnya. Memilih mematahkan harapanku sebelum dipatahkan oleh kepergiannya. Bukan menyerah, aku hanya tidak ingin terluka lebih parah," tambahnya yang langsung membuatku tercengang.

Itukah jawaban yang harus aku lakukan saat ini. Toh, sudah seharusnya seperti itu.

"Tapi, tenang saja Nimas. Aku tidak akan meninggalkanmu. Kamu percaya kan sama aku?" tanya Reyhan sambil menatap ke arahku. Kali ini aku merasa bahwa dia benar sedang memandangiku. Kelopak matanya penuh dengan keberadaanku. Seakan menunjukkan, bahwa dia bisa melihatku. Merasakan sinar mataku.

Aku pernah membaca sebuah petuah, bahwa kehilangan adalah jalan pahit untuk menemukan kebahagiaan yang manis. Apakah ini awal sebuah kebahagiaan?

Selama ini aku hanya berkutik dengan mas Alshad dan saat ini ada Reyhan yang tiba-tiba memaksa masuk kedalam kehidupan. Bukan memaksa Nimas, namun mungkin inilah jalan takdir pertemuan kalian.

"Banyak orang mengatakan janji. Apalagi laki-laki, tapi pada akhirnya janji itu hanya sebuah ilusi. Yang nampak namun tidak berwujud pasti," elakku.

Aku membuang muka. Tidak semudah itu rey, kamu membuatku percaya akan sebuah kata-kata. Bahkan yang memang benar cinta saya bisa hilang tanpa ia sanggup menanyakan perihal-nya.

"Hehehe, doakan saja. Kan tidak ada yang tahu kepastian masa depan kita. Manusia berencana, Tuhan yang menentukan semua."

Mobil berhenti. Ku toleh kanan dan kiri. Kami belum sampai dikampus. Lalu kenapa berhenti?

"Kita sarapan dulu, ya..." Kata Reyhan.

Bodyguard satu sudah turun dan membukakan pintu untuk Reyhan.

"Kamu belum sarapan. Kenapa gak bilang? Tahu gitu tadi sarapan dulu dirumah,"

Pintu mobil bagian ku juga sudah dibuka. Mau tidak mau aku pun ikut turun juga. Lekas aku menghampiri Reyhan. Untuk menjadi matanya.

Undesirable (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang