Bukan Putus Cinta

11 1 0
                                    

Yang patah itu hatiku, namun kenapa seluruh tubuhku ikut merasakan lumpuhnya?
.
.
.
.
.

Pada akhirnya aku menguatkan hati, jiwa dan raga untuk hari ini. Kain yang kemarin dijahit sudah menjadi gaun yang indah.

Seperti pemerintah mas Alshad aku memakai gaun dengan kain yang ia belikan. Ku tatap diriku didepan cermin. Terlihat sempurna. Tidak ada yang cacat. Tapi, kenapa tubuhku lemas tak bisa bergerak?

"Nduk, ayo... Sudah ditunggu!" Suara ibu melengking masuk ke dalam ruang kamar.

Ku hela nafas panjang. Hari ini telah tiba. Hari pertunangan mas Alshad. Setelah hari ini tidak ada lagi kesempatan untukku mengharapkannya. Dih, sejak kapan kamu memperjuangkan Nimas?

"Nimas?! Ayo, kok malah ngelamun!"

Aku menoleh kearah pintu. Ibu sudah berdiri saja di ambang pintu. Dia sudah bersiap sejak pagi. Dia yang paling bersemangat hari ini. Sebab keponakan laki-laki yang sudah ia anggap putranya itu akan bertunangan. Ayah pun tidak ku lihat wajah masamnya. Di pun bahagia.

Apa hanya aku yang saat ini terluka? Jika memang, iya. Maka luka tidak akan terlihat oleh mata orang yang bahagia. Baguslah... Setidaknya aku tidak harus mencari alasan untuk menceritakan apa yang aku rasakan sekarang.

Kami pergi dengan mobil yang sudah disiapkan oleh keluarga mas Alshad. Mas Alshad beserta orangtuanya sudah di lokasi sejak pagi. Sedang aku dan ibu berangkat bersama sanak keluarga lainya.

Berusaha aku pasang wajah ceria. Aku mengulum senyum merekah untuk menutup luka. Aku bercerita panjang lebar pada orang-orang yang menghampiri menyapa. Banyak saudara, dan juga sepupu jauh juga.

"Aku kira dulu, Alshad bakal nikah sama Nimas. Eh, ternyata tidak..." Kata Bibi Aisyah_bibi paling muda dari ayah mas Alshad menggodaku saat kami berada di satu mobil.

Mobil Innova putih membawa enam anggota keluarga. Aku, orang tuaku dan tiga bibi mas Alshad dari pihak ayahnya.

"Hahaha... Aku juga nyangkanya begitu." Sahut bibi Hafsah_Dia adik ayah mas Alshad yang kedua.

Aku tersenyum simpul. Ada denyut menyakitkan tak bisa ku tahan saat keluarga mas Alshad memikirkan begitu.

Jika mereka saja bisa melihat kedekatan kami, tapi kenapa mas Alshad tidak bisa?

Ingin rasanya, sekali saja menayangkan apakah pernah aku ada di hatinya? Bukan sebagai adik kecilnya, tapi sebagai perempuan dewasa yang ingin ia nikahin, nafkahi dan ayomi.

"Kalau sama Nimas ya kasihan Alshadnya. Bosen nantinya," kata Ibu

"Hahaha... Dari kecil sudah bareng. Kalau gini, kamu gak sedih, Nimas? Setelah ini Alshad gak bisa leluasa main sama kamu," kata bibi Aisyah

Aku tersenyum lagi. Pokoknya sebisa mungkin aku terus tersenyum.

"Nggeh sedih, Bik. Tapi, mau bagaimana lagi. Mas Alshad kan juga bakal nikah juga, hehehe ..." Aku harap nada bicaraku tidak bergetar. Aku harap di dalam caraku menjawab tidak menimbulkan getaran keraguan.

"Semoga setelah ini ganti kamu, Nimas... Bibi doakan semoga bisa dapat kayak Alshad." Tutur bibi Hafsah.

Satu mobil mengaminkan. Dalam hati pun aku teriakan amin yang kencang. Walaupun entah, kemana dan dimana aku mencari laki-laki seperti mas Alshad.

Undesirable (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang